Jumat, 14 November 2014

Takhrij Hadits - Ulumul Hadits



      BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Sejarah Takhrij Hadits
Kegiatan mentakhrij hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama Mutaakhkhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan para ulama mutaqoddimin menurut al’iraqi, dalam mengutip hadits-haditsnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadits itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadits-hadits tersebut, sampai kemudian datang an-Nawawi yang melakukan hal itu.
Adanya pemikiran tentang takhrij ini muncul dan diperlukan, ketika para ulama merasa mendapat kesulitan untuk merujukkan hadits-hadits yang tersebar pada berbagai kitab dengan disiplin ilmu agama yang bermacam-macam. Mereka mengeluarkan hadits-hadits yang dikutip dalam kitab-kitab dengan merujukkan pada sumbernya. Didalamnya juga dibicarakan kualitas-kualitas kesohihannya. Dari perkembangan ini kemudian muncul kitab-kitab takhrij. Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud ath-Thahhan, ialah al-Khatib al- Baghdadi (463 H). Kemudian bermunculan kitab-kitab takhrij lainnya. Namun menurutnya, yang paling baik ialah karya al-Zaila’I yang berjudul Nash bar-Rayah li Ahadits al-Hidayah.
I.2 Rumusan Masalah
·       Apa itu pengertian Takhrij Hadits ?
·       Apa saja sebab – sebab perlunya Takhrij Hadits ?
·       Apa saja metode – metode Takhrij Hadits ?
·       Bagaimana sejarah Takhrij Hadits ?
I.3  Tujuan
·       Memahami apa itu Takhrij Hadits
·       Mengetahui apa sebab perlunya Takhrij Hadits
·       Mengetahui macam-macam metode Takhrij Hadits
·       Mengetahui sejarah Takhrij Hadits
·       Memenuhi tugas semester 2 / genap



BAB II
Pembahasan
A.      Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya Nampak dari tempatnya atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadits wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.

Sedangkan menurut istilah muhaditsin, takhrij diartikan dalam beberapa pengertian :
1.       Sinonim dan ikhraj, yakni seorang rawi mengutarakan suatu hadits dengan menyebutkan sumber keluarnya (pemberita) hadits tersebut.
2.       Mengeluarkan hadits-hadits dari kitab-kitab, kemudian sanad-sanadnya disebutkan.
3.       Menukil hadits dari kitab-kitab sumber (diwan hadits) dengan menyebutnya mudawinnya serta dijelaskan martabat haditsnya.
Rumusan Mahmud al-Thahhah tentang ta’rif takhrij adalah :
“ Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan keperluan”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa takhrij meliputi kegiatan :
a)      Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadits.
b)      Penukilan hadits dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.
c)       Mengutip hadits-hadits dari kitab-kitab dan (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad-sanadnya.

Membahas hadts-hadits sampai diketahui martabat kualitas (maqbul-mardudunya).

B.      Sebab-sebab perlunya Takhrij Hadits
Kegiatan takhrij hadits sangat penting dalam melaksanakan penelitian hadits. Berikut ini ada 3 yang menyebabkan perlunya kegiatan takhrij hadits.
1.       Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Suatu hadits sangat sulit diteliti status dan kualitasnya bila tidak diketahu asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad  dan matan hadits yang bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber. Jadi hadits takkan sulit diteliti apabila belum diketahui asal-usulnya.
2.       Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi yang akan diteliti. Hadits yang akan diteliti mungkin memiliki lebih dari satu sanad. Mungkin saja salah satu sanad hadits itu berkualitas daifa tausahih. Untuk itu terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadits yang bersangkutan.
3.       Untuk mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti ketika hadits yang diteliti salah satu sanadnya mungkin ada periwayatan lain yang sanadnya mendukung pada sanadnya yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian periwayatan tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi disebut sebagai syahid, sedang bila terdapat dibagian bukan periwayatan tingkat sahabat disebut sebagai mutabi’.[1]
4.       Untuk membuktikan status hadits. [2]

C.      Metode Takhrij

A.      Macam-macam Takhrij
Takhrij sebagai metode untuk menentukan kehujahan hadits itu terbagi kedalam 3[3] kegiatan yakni : 1. Naql 2. Tashhih 3. I’tibar

B.      Pengertian Naql atau Akhdzu
Takhrij Naql atau akhdzu adalah Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran penukilan dan pengambilan hadits dari beberapa kitab atau diwan hadits (mashadir al-asliyah), sehinga dapat teridentifikasi hadits-hadits tertentu yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.
Berbagai cara pentakhrijan dalam arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadits, diantaranya yang dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan yang menyebutkan 5 tekhnik dalam menggunakan metode takhrij sebagai al-naql sebagai berikut :
a.       Takhrij dengan mengetahui sahabatnya yang meriwayatkan hadits.
b.      Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits.
c.       Takhrij dengan cara mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal.
d.      Takhrij dengan mengetahui tema atau pokok bahasan hadits.
e.      Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits.


A.      Metode takhrij / al-Naql melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits.
Metode ini hanya digunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada hadits yang akan ditakhrij. Apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang tentu metode ini tidak dapat dipakai.
Apabila nama sahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan 3 macam kitab, yaitu : 1. Kitab-kitab musnad 2. Kitab-kitab mu’jam dan 3. Kitab-kitab Athraf.

1.       Kitab-kitab musnad adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama sahabat, atau hadits-hadits para sahabat dikumpulkan secara tersendiri.

Kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ahli hadits itu sangatlah benyak, sebagian diantaranya sebagai berikut :

a.       Musnad Ahmad bin Hambal
b.      Musnad Abu Baqr Sulaiman ibn Dawud al-Thayalisi.
c.       Musnad Ubaidillah, dll
Kitab Mu’jam adalah kitab yang ditulis menurut nama-nama sahabat, gutu, negeri atau yang lainnya, yang nama-nama tersebut diurutkan secara alfabetis. Kitab-kitab tersebut diantaranya :
a.       Mu’jam al-Shahabah li Ahmad ibn al-Hamdani
b.      Mu’jam al-Shahabah li abi Ya’la Ahmad ‘Ali al-Mashili, dan lain-lain.

2.       Kitab Athraf adalah kitab yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadits yang menunjukan keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya, baik secara keeseluruhan dan dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu. Yang mana kitabnya ini biasanya mengikuti musnad sahabat. Kitab-kitab Atharaf itu diantaranya adalah :

a.       Atharaf al-Shahihain li Abi Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi.
b.      Atharaf al-Shahihain li Abi Muhamad Khalaf Ibn Muhamad al-Wasithi, dll

Manfaat dari kitab-kitab Athraf adalah :

1.       Menerangkan berbagai sanad secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apakah hadits itu gharib, azis, atau masyhur.
2.       Memberitahukan perihal siapa saja yang diantara para penyusun kitab-kitab hadits yang meriwayatkan dan dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3.       Memberitakan tentang berapa jumlah dalam kitab-kitab yang dibuat athrafnya.

Dalam kitab-kitab Athraf hanya diterangkan perihal sebagian matan hadits saja, maka untuk mengetahui lebih lengkap perlu merujuk pada kitab-kitab sumber yang popular, yang ditunjukan oleh kitab Athraf tersebut.

1.       Kitab-kitab hadits yang disusun untuk hadits – hadits yang popular dimasyarakat diantaranya :
a.       Al-Tadzkirah fi Ahadist al-Musyitahirah li al-Zarkasyi.
b.      Al-Darur al-Muntatsirah fi Ahadist Al-Mustahirah li al-Suyuti, dll
2.       Kitab yang disusun secara alfabetis, anatara lain : Al-Jami’ al’Shadhir min hadist al-Basyir al-Nadhir Li Jalal al-Din ‘Abdurahman Abi Bakr al-Suyuthi.
3.       Kitab-kitab kunci atau indeks bagi kitab-kitab tertentu antara lain :
a.       Miftah al-Shahihain li al-Tauqadi.
b.      Miftah li Ahadist Muwatha’Malik, dll



B.      Metode Takhrij / al- Naql melalui pengetahuan salah satu lafazh Hadist

Metode ini hanya menggunakan stu kitab penunjuk saja, yaitu : “Al-Mu;jam al-Mufarhas Li alfazh al-Hadist al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang orientalis barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi, dll.

Kitab – kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah Sembilan, diantaranya :
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-tirmidzi, sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi. Yang mana masing-masing mempunyai kode tersendiri.

C.      Metode Takhrij / al- Naql melalui pengetahuan tema hadist
Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah terbiasa dan ahli dalam hadist. Orang yang awam akan hadist akan sulit untuk  menggunakan metode ini. Karena yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu hadist yang akan ditakhrijkan. Baru kemudian kita membuka kitab hadist pada bab dan kitab yang mengandung tema tersebut.
Adapun kitab-kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab-kitab yang disusun secara tematis. Serta kitab-kitab ini dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu :
1.       Kitab-kitab yang berisi seluruh tema agama, diantaranya :
a.       Al-Jami’ al-Shahih Li al-Bukhari
b.      AL-Jami’ al-Shahih Li Muslim
c.       Mustakhraj al-Ismaili, dll
2.       Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema agama, seperti kitab Sunan, yaitu :
a.       Sunan Abi Dawud Li Sulaiman Ibn Asy’ats al-Sijistan
b.      Al-Muwatha’ Li  Al-Imam Malik Ibn Anas al-Madani. Dll
3.       Kitab yang hanya berisi satu tema agama saja, sebagai contoh :
a.       Al-Ahkam Li’Abd al-Ghani Ibn’Abd al-Wahid al-Muqdisi, dll.

D.      Metode Takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusu matan atau sanad hadist

Yang dimaksud dengan metode ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan sifat hadistnya uang baik yang ada pada matan dan sanadnya. Yang pertama diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada sanad lalu kemudian yang ada pada kedua-duanya.

Dari segi matan : apabila pada hadist itu tampak tanda-tanda kemadhuan, maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadist itu adalah mencari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadist-hadist maudhu. Dalam kitab ini ada yang disusun secara alfabetis antara lain kitab al-Mashnu’al-Hadits al- Maudhu’ li al syaikh ‘alal qori al syari’ah. Dan ada secara matematis, antara lain kitab tanzih al-marfu’ah ‘an al-hadits al-syafiah al-maudhu;ah li al kanani.
Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadist ada ciri-ciri tertentu, misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadist itu dapat dicari dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal, atau mungkin ada seorang perowi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab Mizan al-I’tidal li al-dzahahi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadannya yang kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk mencari hadits semacam itu, yaitu :
-          ‘ilal al hadits li ibn abi hakim al-razi
-          Al- mustafad min mubhamat al-matn wa al-isnad li abi zar’ah ahmad ibn al-rahim al Iraqi

C.      Pengertian Takhru Tashhih

Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama diatas, yang menggunakan pendekatan takhrij dan al-naql. Tashhih dalam arti menganalisa keshohihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah. Kegiatan tashih dilakukan dengan menggunakan kitab. ‘Ulumu al-Hadits yang berkaitan dengan Rijal,Jarh wa al-Ta’dil, Ma’an al Hadits, Gharib al-Hadits dan lain-lain.
Kegiatan ini dilakukan oleh mudawwin (kolektor) sejak nabi SAW sampai abad III Hijriyah, dan dilakukan oleh para syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini.

D.      Takhru I’Tibar

Cara ini  sebagai lanjutan dari cara yang kedua diatas, I’Tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab fan yang membuat dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
1.       Dilihat, apakah teks hadits tersenur benar-benar sebagai hadits
2.       Dikenal unsure yang harus ada pada hadits, beriapa rawi, sanad dan matan.
3.       Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawinya, matannya dan sanadnya.
4.       Bagaimana kualitas hadits tersebut ?
5.       Bila hadits tersebut itu maqbul, bagaimana ta’amulnya, apakah ma’mul bil (dapat diamalkan) atau ghoir ma’lu bih ?
6.       Teks hadits harus dipahami ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
7.       Memahami sebab wurud hadits
8.       Apa isi kandungan hadits tersebut
9.       Menganalisis problematika.

D.      Sejarah Takhrij Hadits

Kegiatan mentakhrij hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama mutaakhkhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah bibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan para ulama mutaqoddim menurut al’iraqi, dalam mengutip hadits-hadits tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadits itu dikeluarkan, serta sebagaimana kualitas hadits-hadits tersebut, sampai kemudian dating an-Nawawi yang melakukan hal itu.
Adanya pemikiran tentang takhrij ini muncul dan diperlukan, ketika para ulama merasa mendapat kesulitan umtuk merujukan hadits-hadits yang tersebar pada berbagai kitab dengan disiplin ilmu agama yang bermacam-macam. Mereka mengeluarkan hadits-hadits yang dikutip dalam kitab-kitab lain dengan merujukan pada sumbernya. Didalamnya juga dibicarakan dalam kualitas-kualitas kesohihannya. Dari perkembangan ini kemudian muncul kitab-kitab takhrij. Ulama yang pertama kali melakukan takhrij lainnya. Namun menurutnya, yang paling baik ialah karya al-Zaila’I yang berjudul Nash bar-Rayah li Ahadits al-Hidayah.

Takhrij Hadits
A.      Definisi Hadits
Secara etimologi  kata “Takhrij” berasal dari akar kata :  - يخرج – خرؤجاخرج  mendapat  tambahan tasydid/syiddah pada ra (‘ain fi’il) menjadi : -  يخرج - تخريجا خرج  yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menambahkan. [4]
Maksudnya, menampakan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih sama. Penampakan dan pengeluaran disini tidak harus berbentuk fisik yang konkret, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraj yang diartikan istinbhat yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/ teks Al-Quran dan hadist.

Menurut istilah ada beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para ulama, diantaranya sebagai berikut.

1.       Takhrij menurut ulama hadis adalah :

" Penyebutan seorang penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalalam kitabnya".    
Ulama hadits pada umumnya berkata :

"Hadits ini dengan sanadnya disebutkan fulan dalam kitabnya"

Kata dan  maknanya sama atau dan maknanya juga sama, yaitu sebagaimana makna takhrij diatas.

Kata atau = disebutkan oleh bukhari hadits itu bersama sanadnya dalam kitabnya. Al-Bukhari sebagai orang yang melakukan disebut Mukharrij.

2.       Arti Takhrij lain :
“Seorang penyusun mendatangkan beberapa hadits dari sebuah kitab dengan menyebutkan sanadnya sendiri, maka ia bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya (gurunya) atau orang diatasnya.”

Contoh definisi takhrij kedua ini seperti perkataan ulama hadits :

“Hadits ini disebutkan oleh si fulan dengan sanadnya sendiri dan bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya atau diatasnya.”



Penyusun kedua disebut Mustakhraj seperti kitab :
Maksudnya ungkapan diatas,  Muslim menyebutkan hadits-hadits dengan sanad-nya dalam kitabnya, kemudian Abu Uwanah datang mengeluarkan hadits-hadits tersebut dengan menggunakan sanad-nya  sendiri, Abu Uwanah bertemu dengan Muslim pada gurunya, atau orang diatasnya sampai dengan sahabat. Dengan demikian, takhrih dan istikhraj maknanya sama sebagaimana diatas. Demikian juga kitab Al-Mustakhraj’ala al-Bukhari yang ditulis oleh Abu Bakar Al-Isma’ili. Maknanya hadits itu disebutkan oleh Al-Bukhari dengan sanad-nya dalam kitabnya, kemudian dikeluarkannya oleh Abu Bakar Al-Ismaili dengan menggunakan sanad sendiri. Maka ada pertemuannya antara dua orang tersebut  pada gurunya atau orang diatasnya, yaitu gurunya guru dan seterusnya sampai dengan sahabat. Maksud dari Mustakhraj ini untuk memperkuat sanad dan tambahan pada matan.

Takhrij adalah :
Menunjukan asal beberapa hadits pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadits) dengan menerangkan hukum/kualitasnya.

Definisi pertama dilakukan oleh penyusunanya atau orang lain yang ingin menyebutkan sumber pengambilan suatu hadits, seperti di berbagai  buku, hadits atau syarahnya.
Misalnya seseorang yang mengutip sebuah hadits dari kitab Al-Bukhari  mengatakan pada awal atau akhir penukilan , yang berarti hadits di takhrij oleh Al-Bukhari dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu hadits dikatakan dengan kata : (hadits di riwayatkan oleh Al-Bukhari)
Definisi kedua sudah langka dilakukan orang pada era sekarang, karena menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli hadits. Kecuali jika dilakukan sesame Muhaddits atau Thalib Al-Hadits dalam arti yang sederhana. Sedangkan definisi ketiga masih terbuka lebar kesempatan bagi para  peneliti hadits untuk mengadakan penelusuran dari sumber aslinya, atau dari buku induk hadits untuk diteliti sanad dan matannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits riwayah dan dirayah, sehingga dpat menemukan temuan baru atau temuan yang sama dengan penelitian lain tentang kualitas suatu hadits.

B.      Tujuan Takhrij
Dalam melakukan takhrij menentukan ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut :

1.       Mengetahui eksistensi suatu hadits apakah benar suatu hadits yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau tidak.
2.       Mengetahui sumber orentik suatu hadits dari buku hadits apa saja yang didapatkan.
3.       Mengetahui ada beberapa tempat hadits tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadits atau dalam beberapa buku induk hadits.
4.       Mengetahui kualitas hadits (maqbul/diterima atau mardad/tertolak)

C.      Faedah dan Manfaat Takhrij
Faedah dan manfaat takhrij cukup banyak, diantaranya yang dapat dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut.

1.       Mengetahui referensi beberapa buku hadis. Dengan takhrij, sesorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan didalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan.
2.       Menghimpun sejumlah sana hadis. Dengan takhrij, seseorang dapat menemukan sebuah hadis yang akan diteliti disebuah atau beberapa buku induk hadis. Misalnya terkadang dibeberapa tempat didalam kitab Al-Bukhari saja, atau didalam kitab-kitab lain. Dengan demikian, ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.       Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadits serta kejujuran dalam periwayatan.
4.       Mengetahui status suatu hadis. Terkadang ditemukan sanad suatu hadits dha’if, tetapi melalui sanad lain hukumannya shahih.
5.       Meningkatkan suatu hadis yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatkannya hadis hasan menjadi shshih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6.       Mengetahui bagaimana para iman hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.       Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits.

D.      Pendekatan dan Metode Takhrij

Sebelum sesorang melakukan takhrij suatu hadis , terlebih dahulu ia harus mengetahui metode atau langkah – langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan – kemudahan dan tidak ada hambatan. Hal ini pertama yang perlu dimaklumi adalah bahwa teknik pembukuan buku-buku hadis yang telah dilakukan para ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macam-macamnya. Diantaranya ada yang secara tetematik, pengelompokan hadis didasarkan pada tema-tema tertentu, seperti kitab Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada nama perawi yang paling atas, yaitu para sahabat, seperti kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Buku lain lagi didasarkan pada huruf permulaan matan hadis diurutkan sesuai dengan alphabet Arab seperti kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Suyuti, dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat islam untuk mengkaji sesuai dengan kondisi yang ada.
Karena banyaknya teknik dalam pengodifikasikan buku hadis, sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai dengan tekhnik buku hadis yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penelusuran hadis dari sumber buku hadis, yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan (ni Awwal al-matan), takhrij melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).

Kerja takhrij yang dilakukan oleh generasi pertama ahli hadis hingga akhir abad ketiga bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Kerja ilmiah mereka lebih banyak dilakukan dengan melakukan perjalanan sangat jauh ke wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat tutorial hadis, sekedar untuk mengkonfirmasi atau melakukan klarifikasi atas suatu riwayat yang diterimanya[5]. Sementara itu buku-buku yang dapat dijadikan panduan takhrij belum banyak ditulis. Generasi sekarang sesungguhnya  dapat lebih mudah melakukan kerja takhrij-nya, dan juga penelitian hadis lainnya, yakni dengan merujuk kepada metode serta buku-buku hadis yang telah disediakan oleh generasi awal Islam yang dibuat melalui proses yang demikian panjang, sulit dan melelahkan. Bahkan kecanggihan teknologi lebih memudahkan para pemula melakukan kerja takhrij dengan hanya menggunakan keping CD atau membuka informasi di situs internet. Hanya saja secara konvesional para pengkaji dan peneliti hadis setelah abad keempat Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya dapat menggunakan beberapa pendekatan manual di bawah ini:
  1. Pendekatan transmisional, melalui telaah akhir sanad (sahabat Nabi saw);
  2. Pendekatan redaksional, dengan melakukan pencermatan terhadap awal matan atau lafal kalimat tertentu yang tidak populer di lingkungan masyarakat;
  3. Pendekatan kontekstual, yaitu dengan cara mengeksplorasi kandungan materi hadis; dan
  4. Pendekatan deskripsional, adalah dengan melihat tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik pada sanad maupun matan suatu hadis.
Pendekatan-pendekatan di atas, pada tataran aplikasinya satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Sebagai misal, pendekatan transmisi sangat mengandalkan pada penyebutan nama sahabat nabi periwayat hadis; artinya bila di satu hadis tidak disebutkan nama sahabat, maka pendekatan ini tidak dapat digunakan. Jalan keluar yang dapat dilalui agar kerja takhrij tidak terhenti adalah dengan beralih pendekatan, menggunakan pendekatan redaksional, misalnya. Demikian seterusnya.
Selanjutnya setiap pendekatan tersebut menuntut penggunaan metode tertentu sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Berikut ini adalah rinciannya:
  1. Takhrij dengan menggunakan pendekatan transmisional bertumpu pada metode musnady, mu`jamy (syakhshiy) dan athrafy.
  2. Takhrij yang memanfaatkan pendekatan redaksional dan tema berpijak pada metode fihrisiy, mu`jamiy (alfahzi)y, istikhrajiy, istidrakiy dan istiqra’iy mawdhu`iy.
  3. Takhrij dengan pendekatan deskripsional menapakpijak pada metode metode istiqra’iy isnadiy wa matniy (analisis transmisi dan analisis materi, isi atau muatan).
Metode Musnadiy
Metode Musnadiy adalah sebuah metode takhrij yang menjadikan kitab-kitab “musnad” (bentuk pluralnya: masanid) sebagai pijakan sekaligus panduan dalam melakukan takhrij hadis. Sementara itu, yang dimaksud kitab-kitab musnad adalah keseluruhan kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat Nabi saw. Al-Kattaniy dalam “al-Risalah al-Mustathrafah” menyebut sekitar delapan puluh dua kitab yang berbentuk musnad, bahkan – menurutnya – masih banyak yang lainnya[6].
Penulis musnad memiliki pendekatan dan warna yang berbeda dalam menulis kitabnya, yaitu:
-          pertama, ada yang menulisnya dengan pendekatan urut-urutan huruf alfabet (merupakan cara yang paling mudah dan memudahkan);
-          kedua, ada yang menulisnya berdasarkan urutan waktu masuk Islam, mulai dari Abu Bakr al-Shiddiq dan seterusnya;
-          ketiga, ada yang berdasarkan kabilah (kelompok);
-          keempat, ada yang menulisnya berdasarkan pengelompokkan wilayah negara/tempat asal; dan lain sebagainya.
Di bawah ini adalah beberapa nama kitab musnad yang terkenal:
  1. Al-Musnad karya Ahmad Ibn Hanbal [penghulu Madzhab Hanbaliy/Hanabilah, w. 241], merupakan kitab jenis musnad yang paling populer;
  2. Al-Musnad karya Abu Bakr Abd Allah Ibn al-Zubayr al-Humaydiy [w. 219];
  3. Al-Musnad karya Abu Dawud Sulayman Ibn Dawud al-Thayalisiy [w. 204];
  4. Al-Musnad karya Asad Ibn Musa al-Umawiy [w. 212 H];
  5. Al-Musnad Musaddad Ibn Musarhad al-Asdiy al-Bashriy [w. 228];
  6. Al-Musnad karya Abu Ya`la Ahmad Ibn Ali al-Mutsanna al-Mawshuliy [w. 307];
  7. Al-Musnad karya Abd Ibn Humayd [w. 249].
Al-Musnad karya Imam Ahmad termasuk kitab musnad yang memiliki cara yang kompleks dalam menampilkan hadis-hadisnya. Di dalam al-Musnad karya Imam Ahmad, pertama-pertama ditulis seluruh hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat yang dinilai memiliki keunggulan dan keutamaan (afdhaliyat), tetapi pada bagian lain kitabnya hadis ditulis diurut berdasarkan nama wilayah/negeri/tempat asal sahabat, kemudian di tempat lainnya hadis diurut berdasarkan nama kabilah sahabat.
Metode Athrafiy
     Metode Athrafiy yaitu sebuah metode takhrij hadis yang menjadikan kitab-kitab athraf sebagai rujukkan dalam melakukan kerjanya. Al-Athraf adalah model tashnif yang dilakukan oleh para penulis hadis dengan cara menuliskan permulaan suatu matan hadis tertentu. Kemudian disebutkan sandaran [sanad]-nya atau menisbatkannya kepada kitab-kitab tertentu yang menjadi referensinya[7].
Penyebutan sanad dilakukan dengan menggunakan dua pola : pertama, pola kompleks [menyebut seluruh rawi yang terdapat pada sanad lengkap dengan simbol-simbol periwayatan yang digunakannya]; dan kedua, pola sederhana [hanya dengan menyebutkan nama guru penulis kitab].
Sistematika penulisan kitab athraf, pada umumnya, menggunakan pola musnad sahabat secara alfabetis. Pola ini secara sistematik akan memulai penulisannya dengan menuliskan hadis-hadis yang berasal dari sahabat nabi yang namanya diawali huruf ‘alif’, demikian seterusnya.
Di samping itu, meskipun sedikit yang melakukannya, ada penulis yang menyusun athraf-nya dengan mencatat awal matan suatu hadis yang ditulisnya secara alfabetis. Sekedar menyebut di antaranya, kitab ‘Athraf al-Ghara`ib wa al-afrad’, karya al-Daruquthniy, dan kitab ‘Al-Kasyaf fi Ma`rifah al-Athraf’, karya al-Hafizh  Muhammad Ibn Husainiy, adalah contoh penulisan athraf yang menggunakan pola kedua ini.
Berdasarkan hasil telaah yang seksama, pola kedua adalah pola yang paling baik. Di samping memberikan banyak kemanfaatan sekaligus kemudahan bagi para pembaca dan pembelajar hadis. Pola kedua ini memungkinkan para pembaca dapat dengan segera mengingat kembali materi hadis yang telah hilang dari memorinya. Sedangkan bagi para peneliti hadis, pola kedua ini memudahkannya dalam melakukan komparasi matan.
Kitab yang ditulis dengan menggunakan model athraf sangatlah banyak. Di antara   kitab-kitab tersebut yang terpopuler adalah :
1.       Athraf al-Shahihain, karya Abu Mas`ud Ibrahim Ibn Muhammad al-Dimasyqi [w. 401 H], dan kitab dengan judul yang sama karya Abu Muhammad Khalf Ibn Muhammad al-Washiti [w. 401 H].
2.       Al-Asyraf `Ala Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abul Qasim Ali Ibn al-Hasan Ibn Asakir [w. 547 H]. Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sunan Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Ibn Majah.
3.       Tuhfah al-Asyraf bi Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman al-Mizzi [w. 742 H]. Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Sittah.
4.       Ittihaf al-Mahrah bi Athraf al-`Asyrah, karya al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani [w. 852 H].
5.       Athraf al-Masanid al-`Asyrah, karya Abul Abbas Ahmad Ibn Muhammad al-Bushiri [w. 840 H].
6.       Dzakha`ir al-Mawarits fi al-Dilalah `Ala Mawadhi` al-Hadits, karya Abdul Ghani al-Nabilisi [w. 1143 H].

Kitab Athraf menempati posisi penting baik dalam pembelajaran hadis maupun dalam disiplin ilmu hadis. Di antara kegunaannya adalah :
1.       Mengetahui sejumlah sanad  hadis yang berbeda pada satu kasus yang sama, dan dengan demikian akan dapat segera diketahui mengenai kedudukan suatu hadis dilihat dari kuantitas sanad-nya;
2.       Mengetahui mukharrij hadis yang menjadi penulis kitab yang dirujuk oleh penyusun athraf; dan
3.       Mengetahui jumlah relatif hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat nabi berdasarkan hadis yang ditulis oleh penyusun athraf yang bersangkutan.
Metode Istikhrajiy
Metode Istikhrajiy adalah sebuah metode takhrij hadis yang populer pada paruh kedua abad keempat hingga memasuki pertengahan paruh kedua abad kelima Hijrah. Mekanisme kerja metode ini adalah dengan menarik keluar hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab hadis tertentu, kemudian hadis-hadis tadi dibuatkan transmisi baru melalui orang yang menarik keluar hadis itu dengan mengabaikan keberadaan peran penulis kitab. Pada titik tertentu transmisi baru itu akan bertemu kembali dengan transmisi asal matan hadis tersebut; bisa pada guru si penulis kitab atau pada rawiy setelahnya. Metode ini paling tidak dapat mendeskripsikan jalur-jalur lain dari suatu matan hadis untuk memperkuat keberadaannya. Proses kreatif ini menghasilkan banyak karya tulis yang kelak dikenal dengan istilah “al-mustakhraj”, bentuk pluralnya: “al-Mustakhrajat”.
Kitab-kitab “al-mustakhrajat” dapat dikatakan sebagai anak kitab dari kitab-kitab  yang ditarik hadis-hadisnya. Oleh karena itu, sistematika dan corak kitab jenis ini sama dengan kitab induknya; baik dalam susunan kitab dan bab, tata letak maupun kategorisasi hadisnya. Tetapi perlu dicatat bahwa pola seperti tadi hanya pada kitab-kitab “al-mustakhrajat” atas kitab berjenis “jami’”, sebab mustakhraj atas kitab-kitab “sunan” dan yang lainnya disusun berbeda dari kitab induknya.  
Metode Istidrakiy
     Metode Istidrakiy adalah metode takhrij yang dalam pelaksanaannya mempertautkan matan-matan hadis yang diabaikan oleh penulis sebelumnya – disengaja maupun tidak. Mekanismenya adalah dengan cara menisbahkan hadis-hadis yang diabaikan tadi kepada kitab hadis hasil karya penulis tertentu. Pengguna metode ini dalam menetapkan validitas suatu hadis menggunakan kriteria sebagaimana yang ditetapkan oleh penulis tertentu tadi.
Produk dari metode ini adalah kitab-kitab “al-mustadrak” (bentuk pluralnya: “al-Mustadrakat”). Al-Mustadrak adalah karya kreatifitas ulama hadis pada periode keenam (yang dimulai pada abad keempat Hijrah). Kitab jenis ini berjasa paling tidak dalam tiga hal, yaitu:
-          pertama, menampilkan ragam hadis yang – secara sengaja maupun tidak – diabaikan oleh para penulis kitab sebelumnya;
-          kedua, menampakkan adanya penuturan yang berbeda terhadap matan hadis tertentu; dan
-          ketiga, menunjukkan transmisi hadis tertentu yang secara subyektif dinilai sahih oleh penulis mustadrak.
Kitab jenis mustadrak yang paling populer – meskipun banyak mendapat kritik dari para pembelajar hadis – adalah al-Mustadrak `ala al-Shahihayn karya Imam al-Hakim (w. 405 H)[8], selain karya al-Hafizh Abd Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Malikiy yang lebih dikenal dengan Abu Dzar al-Harawiy (w. 434 H)[9].



BAB 3
Penutup

A.      Kesimpulan

Pada tahap awal takhrij al-hadits berarti penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya masing-masing. Dalam tahap ini konsentrasi mukharrij atau orang yang mentakhrij terkadang lebih focus pada masalah sanad/riwayat dan terkadang juga lebih menitiberatkan pada masalah matan atau isi dan hadits yang sedang diteliti.

Pada tahap kedua istilah takhrij al-hadits berkembang menjadi penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya yang berbeda dengan yang ada pada kitab hadits yang pertama. Tujuannya, biasanya dalam rangka memperkuat sanad-sanad yang ada pada kitab pertama.

Pada setiap ketiga istilah takhrij al-hadits diperuntukkan pada posisi dimana hadits-hadits telah dikoleksi dalam kitab-kitab hadits. Tujuannya adalah upaya perujukan riwayat-riwayat hadits kepada kitab-kitab yang ada berikut penjelasan status hadistnya, apakah shahih, hasan, dhaif, atau madhu, misalnya .






[1] Syuhudin Ismail Metodelogi Penelitian Hadits, Jakarta, 1990, hal 44
[2] Husna Ahmad, kajian hadits metode takhrij, pustaka Al-Kautsar, Jakarta 1999
[3] Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si. 2008, Ilmu Hadits. Bandung : Mimbar Pustaka
[4] Al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi hal. 167
[5] Perjalanan Imam al-Syafi`i ke Bashrah untuk mengklarifikas
[6] Mahmud al-Thahhan, ibid, hal. 40.
[7] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal. 71,  Dar al-Fikr, tt.
[8] Dr. Shubhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, Cetakan ke-7, hal. 124, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut, 1988; Sukardi,  Mustadrak al-Hakim, Makalah Diskusi pada Jurusan Tafsir Hadis STAI Persis Bandung, 2007.
[9] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal. 94-95,  Dar al-Fikr, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar