BAB I
Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Sejarah Takhrij Hadits
Kegiatan mentakhrij hadits muncul
dan diperlukan pada masa ulama Mutaakhkhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak
pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan para ulama mutaqoddimin menurut
al’iraqi, dalam mengutip hadits-haditsnya tidak pernah membicarakan dan
menjelaskan dari mana hadits itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas
hadits-hadits tersebut, sampai kemudian datang an-Nawawi yang melakukan hal
itu.
Adanya pemikiran tentang takhrij
ini muncul dan diperlukan, ketika para ulama merasa mendapat kesulitan untuk
merujukkan hadits-hadits yang tersebar pada berbagai kitab dengan disiplin ilmu
agama yang bermacam-macam. Mereka mengeluarkan hadits-hadits yang dikutip dalam
kitab-kitab dengan merujukkan pada sumbernya. Didalamnya juga dibicarakan
kualitas-kualitas kesohihannya. Dari perkembangan ini kemudian muncul
kitab-kitab takhrij. Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud
ath-Thahhan, ialah al-Khatib al- Baghdadi (463 H). Kemudian bermunculan
kitab-kitab takhrij lainnya. Namun menurutnya, yang paling baik ialah karya
al-Zaila’I yang berjudul Nash bar-Rayah li Ahadits al-Hidayah.
I.2 Rumusan Masalah
·
Apa itu pengertian Takhrij
Hadits ?
·
Apa saja sebab – sebab
perlunya Takhrij Hadits ?
·
Apa saja metode – metode
Takhrij Hadits ?
·
Bagaimana sejarah Takhrij Hadits
?
I.3 Tujuan
·
Memahami apa itu Takhrij Hadits
·
Mengetahui apa sebab
perlunya Takhrij Hadits
·
Mengetahui macam-macam
metode Takhrij Hadits
·
Mengetahui sejarah Takhrij Hadits
·
Memenuhi tugas semester 2 /
genap
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian Takhrij
Takhrij menurut bahasa memiliki beberapa makna. Yang
paling mendekati disini adalah berasal dari kata kharaja (خرج)
yang artinya Nampak dari tempatnya atau keadaannya, dan terpisah, dan
kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang
artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadits wa kharajahu
artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan
tempat keluarnya.
Sedangkan menurut istilah muhaditsin, takhrij diartikan dalam beberapa
pengertian :
1.
Sinonim dan ikhraj, yakni
seorang rawi mengutarakan suatu hadits dengan menyebutkan sumber keluarnya
(pemberita) hadits tersebut.
2.
Mengeluarkan hadits-hadits
dari kitab-kitab, kemudian sanad-sanadnya disebutkan.
3.
Menukil hadits dari
kitab-kitab sumber (diwan hadits) dengan menyebutnya mudawinnya serta
dijelaskan martabat haditsnya.
Rumusan Mahmud al-Thahhah tentang ta’rif takhrij adalah :
“ Takhrij ialah penunjukan terhadap tempat hadits dalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanadnya dan martabatnya sesuai dengan
keperluan”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa takhrij meliputi
kegiatan :
a)
Periwayatan (penerimaan,
perawatan, pentadwinan, dan penyampaian) hadits.
b)
Penukilan hadits dari
kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tertentu.
c)
Mengutip hadits-hadits dari
kitab-kitab dan (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan
sanad-sanadnya.
Membahas hadts-hadits sampai diketahui martabat kualitas
(maqbul-mardudunya).
B.
Sebab-sebab perlunya
Takhrij Hadits
Kegiatan takhrij hadits sangat
penting dalam melaksanakan penelitian hadits. Berikut ini ada 3 yang
menyebabkan perlunya kegiatan takhrij hadits.
1.
Untuk mengetahui asal-usul
riwayat hadits yang akan diteliti. Suatu hadits sangat sulit diteliti status
dan kualitasnya bila tidak diketahu asal-usulnya. Tanpa diketahui asal-usulnya,
maka sanad dan matan hadits yang
bersangkutan sulit diketahui susunannya menurut sumber. Jadi hadits takkan
sulit diteliti apabila belum diketahui asal-usulnya.
2.
Untuk mengetahui seluruh
riwayat bagi yang akan diteliti. Hadits yang akan diteliti mungkin memiliki
lebih dari satu sanad. Mungkin saja salah satu sanad hadits itu berkualitas
daifa tausahih. Untuk itu terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat
hadits yang bersangkutan.
3.
Untuk mengetahui ada atau
tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti ketika hadits yang
diteliti salah satu sanadnya mungkin ada periwayatan lain yang sanadnya mendukung
pada sanadnya yang sedang diteliti. Dukungan itu bila terletak pada bagian
periwayatan tingkat pertama, yakni tingkat sahabat Nabi disebut sebagai syahid,
sedang bila terdapat dibagian bukan periwayatan tingkat sahabat disebut sebagai
mutabi’.[1]
4.
Untuk membuktikan status
hadits. [2]
C.
Metode Takhrij
A.
Macam-macam Takhrij
Takhrij sebagai metode untuk menentukan kehujahan hadits itu terbagi
kedalam 3[3]
kegiatan yakni : 1. Naql 2. Tashhih 3. I’tibar
B.
Pengertian Naql atau Akhdzu
Takhrij
Naql atau akhdzu adalah Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran
penukilan dan pengambilan hadits dari beberapa kitab atau diwan hadits
(mashadir al-asliyah), sehinga dapat teridentifikasi hadits-hadits tertentu
yang dikehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing-masing.
Berbagai cara pentakhrijan dalam
arti naql telah banyak diperkenalkan oleh para ahli hadits, diantaranya yang
dikemukakan oleh Mahmud al-Tahhan yang menyebutkan 5 tekhnik dalam menggunakan
metode takhrij sebagai al-naql sebagai berikut :
a.
Takhrij dengan mengetahui
sahabatnya yang meriwayatkan hadits.
b.
Takhrij dengan mengetahui
lafadz asal matan hadits.
c.
Takhrij dengan cara
mengetahui lafadz matan hadits yang kurang dikenal.
d.
Takhrij dengan mengetahui
tema atau pokok bahasan hadits.
e.
Takhrij dengan mengetahui
matan dan sanad hadits.
A.
Metode takhrij /
al-Naql melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits.
Metode ini hanya digunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada
hadits yang akan ditakhrij. Apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam
hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya, maka sudah barang
tentu metode ini tidak dapat dipakai.
Apabila nama sahabat tercantum pada hadits tersebut, atau tidak tercantum
tetapi dapat diketahui dengan cara tertentu, maka dapat digunakan 3 macam
kitab, yaitu : 1. Kitab-kitab musnad 2. Kitab-kitab mu’jam dan 3. Kitab-kitab
Athraf.
1.
Kitab-kitab musnad adalah
kitab-kitab yang disusun berdasarkan nama sahabat, atau hadits-hadits para
sahabat dikumpulkan secara tersendiri.
Kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ahli hadits itu sangatlah
benyak, sebagian diantaranya sebagai berikut :
a.
Musnad Ahmad bin Hambal
b.
Musnad Abu Baqr Sulaiman
ibn Dawud al-Thayalisi.
c.
Musnad Ubaidillah, dll
Kitab Mu’jam adalah kitab yang
ditulis menurut nama-nama sahabat, gutu, negeri atau yang lainnya, yang
nama-nama tersebut diurutkan secara alfabetis. Kitab-kitab tersebut diantaranya
:
a.
Mu’jam al-Shahabah li Ahmad
ibn al-Hamdani
b.
Mu’jam al-Shahabah li abi
Ya’la Ahmad ‘Ali al-Mashili, dan lain-lain.
2.
Kitab Athraf adalah kitab
yang penyusunannya hanya menyebutkan sebagian matan hadits yang menunjukan
keseluruhannya. Kemudian sanad-sanadnya, baik secara keeseluruhan dan
dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu. Yang mana kitabnya ini biasanya
mengikuti musnad sahabat. Kitab-kitab Atharaf itu diantaranya adalah :
a.
Atharaf al-Shahihain li Abi
Mas’ud Ibrahim Ibn Muhamad al-Dimasyiqi.
b.
Atharaf al-Shahihain li Abi
Muhamad Khalaf Ibn Muhamad al-Wasithi, dll
Manfaat dari kitab-kitab Athraf adalah :
1.
Menerangkan berbagai sanad
secara keseluruhan dalam satu tempat, dengan demikian dapat diketahui apakah
hadits itu gharib, azis, atau masyhur.
2.
Memberitahukan perihal
siapa saja yang diantara para penyusun kitab-kitab hadits yang meriwayatkan dan
dalam bab apa saja mereka mencantumkannya.
3.
Memberitakan tentang berapa
jumlah dalam kitab-kitab yang dibuat athrafnya.
Dalam kitab-kitab Athraf hanya diterangkan perihal sebagian matan hadits
saja, maka untuk mengetahui lebih lengkap perlu merujuk pada kitab-kitab sumber
yang popular, yang ditunjukan oleh kitab Athraf tersebut.
1.
Kitab-kitab hadits yang
disusun untuk hadits – hadits yang popular dimasyarakat diantaranya :
a.
Al-Tadzkirah fi Ahadist
al-Musyitahirah li al-Zarkasyi.
b.
Al-Darur al-Muntatsirah fi
Ahadist Al-Mustahirah li al-Suyuti, dll
2.
Kitab yang disusun secara
alfabetis, anatara lain : Al-Jami’ al’Shadhir min hadist al-Basyir al-Nadhir Li
Jalal al-Din ‘Abdurahman Abi Bakr al-Suyuthi.
3.
Kitab-kitab kunci atau
indeks bagi kitab-kitab tertentu antara lain :
a.
Miftah al-Shahihain li
al-Tauqadi.
b.
Miftah li Ahadist
Muwatha’Malik, dll
B.
Metode Takhrij / al-
Naql melalui pengetahuan salah satu lafazh Hadist
Metode ini hanya menggunakan stu kitab penunjuk saja, yaitu : “Al-Mu;jam
al-Mufarhas Li alfazh al-Hadist al-Nabawi”. Kitab ini merupakan susunan orang
orientalis barat yang bernama Dr.A.J. Wensink, Dr. Muhamad Fuad ‘Abd al-Baqi,
dll.
Kitab – kitab yang jadi rujukan dari kitab ini adalah Sembilan,
diantaranya :
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-tirmidzi, sunan Abu Dawud, Sunan
an-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Muwatha Malik, Musnad Ahmad dan Sunan ad-Darimi.
Yang mana masing-masing mempunyai kode tersendiri.
C.
Metode Takhrij / al-
Naql melalui pengetahuan tema hadist
Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah
terbiasa dan ahli dalam hadist. Orang yang awam akan hadist akan sulit
untuk menggunakan metode ini. Karena
yang dituntut dari metode ini adalah kemampuan menentukan tema dari suatu
hadist yang akan ditakhrijkan. Baru kemudian kita membuka kitab hadist pada bab
dan kitab yang mengandung tema tersebut.
Adapun kitab-kitab yang digunakan dalam metode ini adalah
kitab-kitab yang disusun secara tematis. Serta kitab-kitab ini dapat dibedakan
dalam 3 kelompok, yaitu :
1.
Kitab-kitab yang berisi
seluruh tema agama, diantaranya :
a.
Al-Jami’ al-Shahih Li
al-Bukhari
b.
AL-Jami’ al-Shahih Li
Muslim
c.
Mustakhraj al-Ismaili, dll
2.
Kitab-kitab yang berisi
sebagian banyak tema-tema agama, seperti kitab Sunan, yaitu :
a.
Sunan Abi Dawud Li Sulaiman
Ibn Asy’ats al-Sijistan
b.
Al-Muwatha’ Li Al-Imam Malik Ibn Anas al-Madani. Dll
3.
Kitab yang hanya berisi
satu tema agama saja, sebagai contoh :
a.
Al-Ahkam Li’Abd al-Ghani
Ibn’Abd al-Wahid al-Muqdisi, dll.
D.
Metode Takhrij
melalui pengetahuan tentang sifat khusu matan atau sanad hadist
Yang dimaksud dengan metode ini adalah memperhatikan keadaan-keadaan dan
sifat hadistnya uang baik yang ada pada matan dan sanadnya. Yang pertama
diperhatikan adalah keadaan sifat yang ada pada matan, kemudian yang ada pada
sanad lalu kemudian yang ada pada kedua-duanya.
Dari segi matan : apabila pada hadist itu tampak tanda-tanda kemadhuan,
maka cara yang paling mudah untuk mengetahui asal hadist itu adalah mencari
dalam kitab-kitab yang mengumpulkan hadist-hadist maudhu. Dalam kitab ini ada
yang disusun secara alfabetis antara lain kitab al-Mashnu’al-Hadits al- Maudhu’
li al syaikh ‘alal qori al syari’ah. Dan ada secara matematis, antara lain
kitab tanzih al-marfu’ah ‘an al-hadits al-syafiah al-maudhu;ah li al kanani.
Dari segi sanad : apabila dalam sanad suatu hadist ada ciri-ciri tertentu,
misalnya isnad hadits itu mursal, maka hadist itu dapat dicari dalam
kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits mursal, atau mungkin ada seorang
perowi yang lemah dalam sanadnya, maka dapat dicari dalam kitab Mizan
al-I’tidal li al-dzahahi.
Dari segi matan dan sanad : ada beberapa sifat dan keadannya yang
kadang-kadang terdapat pada matan dan kadang-kadang pada sanad, maka untuk
mencari hadits semacam itu, yaitu :
-
‘ilal al hadits li ibn abi
hakim al-razi
-
Al- mustafad min mubhamat
al-matn wa al-isnad li abi zar’ah ahmad ibn al-rahim al Iraqi
C.
Pengertian Takhru
Tashhih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertama diatas, yang menggunakan
pendekatan takhrij dan al-naql. Tashhih dalam arti menganalisa keshohihan
hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah. Kegiatan
tashih dilakukan dengan menggunakan kitab. ‘Ulumu al-Hadits yang berkaitan
dengan Rijal,Jarh wa al-Ta’dil, Ma’an al Hadits, Gharib al-Hadits dan
lain-lain.
Kegiatan ini dilakukan oleh mudawwin (kolektor) sejak nabi SAW sampai
abad III Hijriyah, dan dilakukan oleh para syarih (komentator) sejak abad IV
sampai kini.
D.
Takhru I’Tibar
Cara ini sebagai lanjutan dari
cara yang kedua diatas, I’Tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari
literature, baik kitab yang asli, kitab syarah dan kitab fan yang membuat
dalil-dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu ditempuh dalam
studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
1.
Dilihat, apakah teks hadits
tersenur benar-benar sebagai hadits
2.
Dikenal unsure yang harus
ada pada hadits, beriapa rawi, sanad dan matan.
3.
Termasuk jenis hadits apa
hadits tersebut, dari segi rawinya, matannya dan sanadnya.
4.
Bagaimana kualitas hadits
tersebut ?
5.
Bila hadits tersebut itu
maqbul, bagaimana ta’amulnya, apakah ma’mul bil (dapat diamalkan) atau ghoir
ma’lu bih ?
6.
Teks hadits harus dipahami
ungkapannya, maka perlu diterjemahkan.
7.
Memahami sebab wurud hadits
8.
Apa isi kandungan hadits
tersebut
9.
Menganalisis problematika.
D.
Sejarah Takhrij
Hadits
Kegiatan mentakhrij hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama
mutaakhkhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah bibicarakan dan
diperlukan. Kebiasaan para ulama mutaqoddim menurut al’iraqi, dalam mengutip
hadits-hadits tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadits itu dikeluarkan,
serta sebagaimana kualitas hadits-hadits tersebut, sampai kemudian dating
an-Nawawi yang melakukan hal itu.
Adanya pemikiran tentang takhrij ini muncul dan diperlukan, ketika para
ulama merasa mendapat kesulitan umtuk merujukan hadits-hadits yang tersebar
pada berbagai kitab dengan disiplin ilmu agama yang bermacam-macam. Mereka
mengeluarkan hadits-hadits yang dikutip dalam kitab-kitab lain dengan merujukan
pada sumbernya. Didalamnya juga dibicarakan dalam kualitas-kualitas
kesohihannya. Dari perkembangan ini kemudian muncul kitab-kitab takhrij. Ulama
yang pertama kali melakukan takhrij lainnya. Namun menurutnya, yang paling baik
ialah karya al-Zaila’I yang berjudul Nash bar-Rayah li Ahadits al-Hidayah.
Takhrij Hadits
A.
Definisi Hadits
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari akar kata : - يخرج
– خرؤجاخرج mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (‘ain
fi’il) menjadi : - يخرج - تخريجا خرج yang berarti menampakkan,
mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menambahkan. [4]
Maksudnya,
menampakan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak
kelihatan dan masih sama. Penampakan dan pengeluaran disini tidak harus
berbentuk fisik yang konkret, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan
tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraj yang diartikan istinbhat yang
berarti mengeluarkan hukum dari nash/ teks Al-Quran dan hadist.
Menurut
istilah ada beberapa definisi takhrij yang dikemukakan oleh para ulama,
diantaranya sebagai berikut.
1.
Takhrij menurut ulama hadis
adalah :
" Penyebutan
seorang penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalalam kitabnya".
Ulama hadits pada umumnya berkata :
"Hadits ini dengan sanadnya disebutkan fulan dalam
kitabnya"
Kata dan
maknanya sama atau dan maknanya juga sama, yaitu sebagaimana makna
takhrij diatas.
Kata atau = disebutkan oleh bukhari hadits itu
bersama sanadnya dalam kitabnya. Al-Bukhari sebagai orang yang melakukan
disebut Mukharrij.
2.
Arti Takhrij lain :
“Seorang penyusun mendatangkan beberapa hadits
dari sebuah kitab dengan menyebutkan sanadnya sendiri, maka ia bertemu dengan
penyusun asal pada syaikhnya (gurunya) atau orang diatasnya.”
Contoh definisi takhrij kedua ini seperti
perkataan ulama hadits :
“Hadits ini disebutkan oleh si fulan dengan
sanadnya sendiri dan bertemu dengan penyusun asal pada syaikhnya atau
diatasnya.”
Penyusun kedua disebut Mustakhraj seperti kitab :
Maksudnya ungkapan diatas, Muslim menyebutkan hadits-hadits dengan
sanad-nya dalam kitabnya, kemudian Abu Uwanah datang mengeluarkan hadits-hadits
tersebut dengan menggunakan sanad-nya
sendiri, Abu Uwanah bertemu dengan Muslim pada gurunya, atau orang
diatasnya sampai dengan sahabat. Dengan demikian, takhrih dan istikhraj
maknanya sama sebagaimana diatas. Demikian juga kitab Al-Mustakhraj’ala
al-Bukhari yang ditulis oleh Abu Bakar Al-Isma’ili. Maknanya hadits itu
disebutkan oleh Al-Bukhari dengan sanad-nya dalam kitabnya, kemudian
dikeluarkannya oleh Abu Bakar Al-Ismaili dengan menggunakan sanad sendiri. Maka
ada pertemuannya antara dua orang tersebut
pada gurunya atau orang diatasnya, yaitu gurunya guru dan seterusnya
sampai dengan sahabat. Maksud dari Mustakhraj ini untuk memperkuat sanad dan
tambahan pada matan.
Takhrij adalah :
Menunjukan asal beberapa hadits pada kitab-kitab
yang ada (kitab induk hadits) dengan menerangkan hukum/kualitasnya.
Definisi pertama dilakukan oleh penyusunanya atau
orang lain yang ingin menyebutkan sumber pengambilan suatu hadits, seperti di
berbagai buku, hadits atau syarahnya.
Misalnya seseorang yang mengutip sebuah hadits
dari kitab Al-Bukhari mengatakan pada
awal atau akhir penukilan , yang berarti hadits di takhrij oleh Al-Bukhari dan
seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu hadits dikatakan dengan kata : (hadits
di riwayatkan oleh Al-Bukhari)
Definisi kedua sudah langka dilakukan orang pada
era sekarang, karena menyangkut keterbatasan dan kemampuan para ahli hadits.
Kecuali jika dilakukan sesame Muhaddits atau Thalib Al-Hadits dalam arti yang
sederhana. Sedangkan definisi ketiga masih terbuka lebar kesempatan bagi
para peneliti hadits untuk mengadakan
penelusuran dari sumber aslinya, atau dari buku induk hadits untuk diteliti
sanad dan matannya sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits riwayah dan dirayah,
sehingga dpat menemukan temuan baru atau temuan yang sama dengan penelitian
lain tentang kualitas suatu hadits.
B. Tujuan Takhrij
Dalam
melakukan takhrij menentukan ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari
takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui eksistensi suatu
hadits apakah benar suatu hadits yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku
hadits atau tidak.
2.
Mengetahui sumber orentik
suatu hadits dari buku hadits apa saja yang didapatkan.
3.
Mengetahui ada beberapa
tempat hadits tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadits
atau dalam beberapa buku induk hadits.
4.
Mengetahui kualitas hadits
(maqbul/diterima atau mardad/tertolak)
C. Faedah dan Manfaat Takhrij
Faedah dan
manfaat takhrij cukup banyak, diantaranya yang dapat dipetik oleh yang
melakukannya adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui referensi
beberapa buku hadis. Dengan takhrij, sesorang dapat mengetahui siapa perawi
suatu hadis yang diteliti dan didalam kitab hadis apa saja hadis tersebut
didapatkan.
2.
Menghimpun sejumlah sana
hadis. Dengan takhrij, seseorang dapat menemukan sebuah hadis yang akan
diteliti disebuah atau beberapa buku induk hadis. Misalnya terkadang dibeberapa
tempat didalam kitab Al-Bukhari saja, atau didalam kitab-kitab lain. Dengan
demikian, ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.
Mengetahui keadaan sanad
yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar
kemampuan perawi dalam mengingat hadits serta kejujuran dalam periwayatan.
4.
Mengetahui status suatu
hadis. Terkadang ditemukan sanad suatu hadits dha’if, tetapi melalui sanad lain
hukumannya shahih.
5.
Meningkatkan suatu hadis
yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad lain yang
seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatkannya hadis hasan
menjadi shshih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang atau
lebih tinggi kualitasnya.
6.
Mengetahui bagaimana para
iman hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang
disampaikan.
7.
Seseorang yang melakukan
takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits.
D. Pendekatan dan Metode Takhrij
Sebelum
sesorang melakukan takhrij suatu hadis , terlebih dahulu ia harus mengetahui
metode atau langkah – langkah dalam takhrij sehingga akan mendapatkan kemudahan
– kemudahan dan tidak ada hambatan. Hal ini pertama yang perlu dimaklumi adalah
bahwa teknik pembukuan buku-buku hadis yang telah dilakukan para ulama dahulu
memang beragam dan banyak sekali macam-macamnya. Diantaranya ada yang secara
tetematik, pengelompokan hadis didasarkan pada tema-tema tertentu, seperti
kitab Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi
ada yang didasarkan pada nama perawi yang paling atas, yaitu para sahabat,
seperti kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Buku lain lagi didasarkan pada huruf
permulaan matan hadis diurutkan sesuai dengan alphabet Arab seperti kitab
Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Suyuti, dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh
para ulama dalam rangka memudahkan umat islam untuk mengkaji sesuai dengan
kondisi yang ada.
Karena
banyaknya teknik dalam pengodifikasikan buku hadis, sangat diperlukan beberapa
metode takhrij yang sesuai dengan tekhnik buku hadis yang ingin diteliti.
Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penelusuran hadis dari sumber buku
hadis, yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij dengan tema (bi
al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan (ni Awwal al-matan), takhrij
melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij dengan sifat (bi
ash-shifah).
Kerja takhrij yang dilakukan oleh generasi pertama ahli hadis hingga
akhir abad ketiga bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Kerja ilmiah mereka
lebih banyak dilakukan dengan melakukan perjalanan sangat jauh ke
wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat tutorial hadis, sekedar untuk
mengkonfirmasi atau melakukan klarifikasi atas suatu riwayat yang diterimanya[5].
Sementara itu buku-buku yang dapat dijadikan panduan takhrij belum
banyak ditulis. Generasi sekarang sesungguhnya
dapat lebih mudah melakukan kerja takhrij-nya, dan juga
penelitian hadis lainnya, yakni dengan merujuk kepada metode serta buku-buku
hadis yang telah disediakan oleh generasi awal Islam yang dibuat melalui proses
yang demikian panjang, sulit dan melelahkan. Bahkan kecanggihan teknologi lebih
memudahkan para pemula melakukan kerja takhrij dengan hanya menggunakan
keping CD atau membuka informasi di situs internet. Hanya saja secara konvesional para
pengkaji dan peneliti hadis setelah abad keempat Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya
dapat menggunakan beberapa pendekatan manual di bawah ini:
- Pendekatan transmisional, melalui telaah akhir sanad (sahabat Nabi saw);
- Pendekatan redaksional, dengan melakukan pencermatan terhadap awal matan atau lafal kalimat tertentu yang tidak populer di lingkungan masyarakat;
- Pendekatan kontekstual, yaitu dengan cara mengeksplorasi kandungan materi hadis; dan
- Pendekatan deskripsional, adalah dengan melihat tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik pada sanad maupun matan suatu hadis.
Pendekatan-pendekatan di atas, pada tataran
aplikasinya satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi dan menyempurnakan.
Sebagai misal, pendekatan transmisi sangat mengandalkan pada penyebutan nama
sahabat nabi periwayat hadis; artinya bila di satu hadis tidak disebutkan nama
sahabat, maka pendekatan ini tidak dapat digunakan. Jalan keluar yang dapat
dilalui agar kerja takhrij tidak terhenti adalah dengan beralih
pendekatan, menggunakan pendekatan redaksional, misalnya. Demikian seterusnya.
Selanjutnya setiap pendekatan tersebut menuntut penggunaan
metode tertentu sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Berikut ini adalah
rinciannya:
- Takhrij dengan menggunakan pendekatan transmisional bertumpu pada metode musnady, mu`jamy (syakhshiy) dan athrafy.
- Takhrij yang memanfaatkan pendekatan redaksional dan tema berpijak pada metode fihrisiy, mu`jamiy (alfahzi)y, istikhrajiy, istidrakiy dan istiqra’iy mawdhu`iy.
- Takhrij dengan pendekatan deskripsional menapakpijak pada metode metode istiqra’iy isnadiy wa matniy (analisis transmisi dan analisis materi, isi atau muatan).
Metode Musnadiy
Metode Musnadiy adalah sebuah metode takhrij
yang menjadikan kitab-kitab “musnad” (bentuk pluralnya: masanid)
sebagai pijakan sekaligus panduan dalam melakukan takhrij hadis.
Sementara itu, yang dimaksud kitab-kitab musnad adalah keseluruhan kitab
hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat Nabi saw. Al-Kattaniy dalam “al-Risalah
al-Mustathrafah” menyebut sekitar delapan puluh dua kitab yang berbentuk musnad,
bahkan – menurutnya – masih banyak yang lainnya[6].
Penulis musnad memiliki pendekatan dan
warna yang berbeda dalam menulis kitabnya, yaitu:
-
pertama, ada yang menulisnya dengan pendekatan urut-urutan huruf alfabet
(merupakan cara yang paling mudah dan memudahkan);
-
kedua, ada yang menulisnya berdasarkan urutan waktu masuk Islam, mulai dari Abu
Bakr al-Shiddiq dan seterusnya;
-
ketiga, ada yang berdasarkan kabilah (kelompok);
-
keempat, ada yang menulisnya berdasarkan pengelompokkan wilayah negara/tempat
asal; dan lain sebagainya.
Di bawah ini adalah beberapa nama kitab musnad
yang terkenal:
- Al-Musnad karya Ahmad Ibn Hanbal [penghulu Madzhab Hanbaliy/Hanabilah, w. 241], merupakan kitab jenis musnad yang paling populer;
- Al-Musnad karya Abu Bakr Abd Allah Ibn al-Zubayr al-Humaydiy [w. 219];
- Al-Musnad karya Abu Dawud Sulayman Ibn Dawud al-Thayalisiy [w. 204];
- Al-Musnad karya Asad Ibn Musa al-Umawiy [w. 212 H];
- Al-Musnad Musaddad Ibn Musarhad al-Asdiy al-Bashriy [w. 228];
- Al-Musnad karya Abu Ya`la Ahmad Ibn Ali al-Mutsanna al-Mawshuliy [w. 307];
- Al-Musnad karya Abd Ibn Humayd [w. 249].
Al-Musnad karya Imam Ahmad termasuk kitab musnad
yang memiliki cara yang kompleks dalam menampilkan hadis-hadisnya. Di dalam al-Musnad
karya Imam Ahmad, pertama-pertama ditulis seluruh hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat-sahabat yang dinilai memiliki keunggulan dan keutamaan (afdhaliyat),
tetapi pada bagian lain kitabnya hadis ditulis diurut berdasarkan nama
wilayah/negeri/tempat asal sahabat, kemudian di tempat lainnya hadis diurut
berdasarkan nama kabilah sahabat.
Metode Athrafiy
Metode
Athrafiy yaitu sebuah metode takhrij hadis yang menjadikan
kitab-kitab athraf sebagai rujukkan dalam melakukan kerjanya. Al-Athraf
adalah model tashnif yang dilakukan oleh para penulis hadis dengan cara
menuliskan permulaan suatu matan hadis tertentu. Kemudian disebutkan
sandaran [sanad]-nya atau menisbatkannya kepada kitab-kitab tertentu
yang menjadi referensinya[7].
Penyebutan sanad dilakukan dengan
menggunakan dua pola : pertama, pola kompleks [menyebut seluruh rawi
yang terdapat pada sanad lengkap dengan simbol-simbol periwayatan yang
digunakannya]; dan kedua, pola sederhana [hanya dengan menyebutkan nama
guru penulis kitab].
Sistematika penulisan kitab athraf, pada
umumnya, menggunakan pola musnad sahabat secara alfabetis. Pola ini
secara sistematik akan memulai penulisannya dengan menuliskan hadis-hadis yang
berasal dari sahabat nabi yang namanya diawali huruf ‘alif’, demikian
seterusnya.
Di samping itu, meskipun sedikit yang
melakukannya, ada penulis yang menyusun athraf-nya dengan mencatat awal matan
suatu hadis yang ditulisnya secara alfabetis. Sekedar menyebut di antaranya,
kitab ‘Athraf al-Ghara`ib wa al-afrad’, karya al-Daruquthniy, dan kitab ‘Al-Kasyaf
fi Ma`rifah al-Athraf’, karya al-Hafizh
Muhammad Ibn Husainiy, adalah contoh penulisan athraf yang
menggunakan pola kedua ini.
Berdasarkan hasil telaah yang seksama, pola kedua
adalah pola yang paling baik. Di samping memberikan banyak kemanfaatan
sekaligus kemudahan bagi para pembaca dan pembelajar hadis. Pola kedua ini
memungkinkan para pembaca dapat dengan segera mengingat kembali materi hadis
yang telah hilang dari memorinya. Sedangkan bagi para peneliti hadis, pola
kedua ini memudahkannya dalam melakukan komparasi matan.
Kitab
yang ditulis dengan menggunakan model athraf sangatlah banyak. Di antara
kitab-kitab tersebut yang terpopuler adalah :
1. Athraf al-Shahihain, karya Abu Mas`ud Ibrahim Ibn Muhammad al-Dimasyqi [w.
401 H], dan kitab dengan judul yang sama karya Abu Muhammad Khalf Ibn Muhammad
al-Washiti [w. 401 H].
2. Al-Asyraf `Ala Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abul Qasim Ali Ibn al-Hasan Ibn Asakir
[w. 547 H]. Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam kitab
sunan Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Ibn Majah.
3. Tuhfah al-Asyraf bi Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman
al-Mizzi [w. 742 H]. Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam
kitab al-Sittah.
4. Ittihaf al-Mahrah bi Athraf al-`Asyrah, karya al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani [w.
852 H].
5. Athraf al-Masanid al-`Asyrah, karya Abul Abbas Ahmad Ibn Muhammad al-Bushiri [w. 840
H].
6. Dzakha`ir al-Mawarits fi al-Dilalah `Ala Mawadhi` al-Hadits, karya
Abdul Ghani al-Nabilisi [w. 1143 H].
Kitab Athraf menempati posisi penting baik dalam pembelajaran hadis
maupun dalam disiplin ilmu hadis. Di antara kegunaannya adalah :
1.
Mengetahui
sejumlah sanad hadis yang berbeda
pada satu kasus yang sama, dan dengan demikian akan dapat segera diketahui
mengenai kedudukan suatu hadis dilihat dari kuantitas sanad-nya;
2.
Mengetahui mukharrij
hadis yang menjadi penulis kitab yang dirujuk oleh penyusun athraf; dan
3.
Mengetahui
jumlah relatif hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat nabi
berdasarkan hadis yang ditulis oleh penyusun athraf yang bersangkutan.
Metode Istikhrajiy
Metode Istikhrajiy adalah sebuah metode takhrij hadis
yang populer pada paruh kedua abad keempat hingga memasuki pertengahan paruh
kedua abad kelima Hijrah. Mekanisme kerja metode ini adalah dengan menarik
keluar hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab hadis tertentu, kemudian
hadis-hadis tadi dibuatkan transmisi baru melalui orang yang menarik keluar
hadis itu dengan mengabaikan keberadaan peran penulis kitab. Pada titik
tertentu transmisi baru itu akan bertemu kembali dengan transmisi asal matan
hadis tersebut; bisa pada guru si penulis kitab atau pada rawiy
setelahnya. Metode ini paling tidak dapat mendeskripsikan jalur-jalur lain dari
suatu matan hadis untuk memperkuat keberadaannya. Proses kreatif ini
menghasilkan banyak karya tulis yang kelak dikenal dengan istilah “al-mustakhraj”,
bentuk pluralnya: “al-Mustakhrajat”.
Kitab-kitab “al-mustakhrajat” dapat
dikatakan sebagai anak kitab dari kitab-kitab
yang ditarik hadis-hadisnya. Oleh karena itu, sistematika dan corak
kitab jenis ini sama dengan kitab induknya; baik dalam susunan kitab dan bab,
tata letak maupun kategorisasi hadisnya. Tetapi perlu dicatat bahwa pola
seperti tadi hanya pada kitab-kitab “al-mustakhrajat” atas kitab
berjenis “jami’”, sebab mustakhraj atas kitab-kitab “sunan”
dan yang lainnya disusun berbeda dari kitab induknya.
Metode Istidrakiy
Metode Istidrakiy adalah
metode takhrij yang dalam pelaksanaannya mempertautkan matan-matan
hadis yang diabaikan oleh penulis sebelumnya – disengaja maupun tidak.
Mekanismenya adalah dengan cara menisbahkan hadis-hadis yang diabaikan tadi
kepada kitab hadis hasil karya penulis tertentu. Pengguna metode ini dalam
menetapkan validitas suatu hadis menggunakan kriteria sebagaimana yang
ditetapkan oleh penulis tertentu tadi.
Produk dari metode ini adalah kitab-kitab “al-mustadrak”
(bentuk pluralnya: “al-Mustadrakat”). Al-Mustadrak adalah karya
kreatifitas ulama hadis pada periode keenam (yang dimulai pada abad keempat
Hijrah). Kitab jenis ini berjasa paling tidak dalam tiga hal, yaitu:
-
pertama, menampilkan ragam hadis yang – secara sengaja maupun tidak – diabaikan
oleh para penulis kitab sebelumnya;
-
kedua, menampakkan adanya penuturan yang berbeda terhadap matan hadis
tertentu; dan
-
ketiga, menunjukkan transmisi hadis tertentu yang secara subyektif dinilai sahih
oleh penulis mustadrak.
Kitab jenis mustadrak yang paling populer –
meskipun banyak mendapat kritik dari para pembelajar hadis – adalah al-Mustadrak
`ala al-Shahihayn karya Imam al-Hakim (w. 405 H)[8],
selain karya al-Hafizh Abd Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Malikiy yang lebih dikenal
dengan Abu Dzar al-Harawiy (w. 434 H)[9].
BAB 3
Penutup
A.
Kesimpulan
Pada tahap awal takhrij al-hadits berarti penyebutan hadits-hadits dengan
sanadnya masing-masing. Dalam tahap ini konsentrasi mukharrij atau orang yang
mentakhrij terkadang lebih focus pada masalah sanad/riwayat dan terkadang juga
lebih menitiberatkan pada masalah matan atau isi dan hadits yang sedang
diteliti.
Pada tahap kedua istilah takhrij al-hadits berkembang menjadi penyebutan
hadits-hadits dengan sanadnya yang berbeda dengan yang ada pada kitab hadits
yang pertama. Tujuannya, biasanya dalam rangka memperkuat sanad-sanad yang ada
pada kitab pertama.
Pada setiap ketiga istilah takhrij al-hadits diperuntukkan pada posisi
dimana hadits-hadits telah dikoleksi dalam kitab-kitab hadits. Tujuannya adalah
upaya perujukan riwayat-riwayat hadits kepada kitab-kitab yang ada berikut
penjelasan status hadistnya, apakah shahih, hasan, dhaif, atau madhu, misalnya
.
[1] Syuhudin Ismail Metodelogi Penelitian Hadits, Jakarta,
1990, hal 44
[2] Husna Ahmad, kajian hadits metode takhrij, pustaka
Al-Kautsar, Jakarta 1999
[3] Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si. 2008, Ilmu
Hadits. Bandung : Mimbar Pustaka
[4] Al-Marbawi, Kamus Idris
Al-Marbawi hal. 167
[5] Perjalanan Imam al-Syafi`i ke Bashrah
untuk mengklarifikas
[6] Mahmud al-Thahhan, ibid, hal. 40.
[7] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal.
71, Dar al-Fikr, tt.
[8] Dr. Shubhi Shalih, Ulum al-Hadits wa
Mushthalahuh, Cetakan ke-7, hal. 124, Dar al-Ilm li al-Malayin, Beirut,
1988; Sukardi, Mustadrak al-Hakim,
Makalah Diskusi pada Jurusan Tafsir Hadis STAI Persis Bandung, 2007.
[9] Al-Mubarakfuriy, ibid, V.1, hal.
94-95, Dar al-Fikr, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar