A. Nasab
1. Pengertian
Nasab
Nasab menurut bahasa berarti keturunan atau kerabat. Secara etimologi
dalam Ensiklopedia Indonesia, nasab di definisikan sebagai keturunan
ikatan keluarga sebagai hubungan darah baik karena hubungan darah ke atas
(bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan
seterusnya) maupun ke samping (saudara, paman, bibi dan lain-lain). [1]
Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada
seseorang atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, adapun
syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut;
a.
Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang
benar hasil perbuatannya dengan suaminya.
b. Ketika perempuan
hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya.
c. Suami tidak
mengingkari anak yang lahir dari istrinya.[2]
Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang
berbunyi:
“Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang
berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang Maha Kuasa. (Qs. Al-Furqan
: 54)
Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke
dunia mempunyai hak-hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk
memenuhi hak tersebut. Ada 5 bagian hak anak yaitu: Nasab (garis keturunan),
penyusunan, pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan berbagai jenisnya yaitu
perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta serta nafkah.[3]
2. Dasar-dasar
Nasab Menurut fiqh Islam
Para
ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena
kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang
laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui
perzinaan. Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya,
bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :
a. Melalui pernikahan
yang sah
Para ulama fiqh
sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan
maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka berdasarkan pendapat
tersebut antara lain pada hadist, yang artinya:
“anak-anak yang
dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu )
dan bagi pezina adalah rajam”.
b. Nasab yang
Ditetapkan Melalui Pernikahan Fasid
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang
dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang
masih dalam masa iddah. Menurut kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak
yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam
pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam
penetapan nasab anak-anak dalam pernikaha fasid tersebut antara lain:
-
Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu
seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan
isterinya tidak hamil.
-
Hubungan senggama
bisa dilaksakan.
-
Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah
terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama
(menurut ulama hanafiyah).[4]
3. Status Anak
Luar Nikah Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa
anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung
jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya
dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak
diluar nikah ini, dibagi ke dalam dua kategori :
a. Anak yang dibuahi tidak
dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah
enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada
bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan
kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak
di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.
b.
Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua,
disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu
maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
1. Tidak ada hubungan nasab
dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya
tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap
anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara
hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya
2. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena
hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
3. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah.
Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu
akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.[5]
4.
Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.
Menurut hukum
Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama,
anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan
UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99
yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar
rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[6]
B. Radha’ah
1. Pengertian Radha’ah
Menurut
bahasa, Radha’ah berarti penyusuan.[7]
Hubungan persusuan juga dapat menghalangi terjadinya pernikahan sebagaimana
halnya hubungan nasab.
Allah swt.
Berfirman mengenai hubungan muhrim ahram karena persusuan,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَـتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَاَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّتُكُمْ وَخَلاَتُكُمْ وبَنَا تُآلْأْخِ وَبَنَا تُ آلْأُخْتِ
وَاُمَّهَتُكُمْ آلَّتِي~اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوَا تُكُمْ مِّنَ آلرَّضَعَةِ...
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibymu;
anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan.” (An-nisa’:23).
Ayat di atas dapat dipahami bahwa,
ibu susuan posisinya sama dengan ibu kandung. Anak susuan haram menikahi ibu
susuannya berikut keturunannya sebagaimana dia diharamkan untuk menikahi
keturunan ibu kandungnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang-orang
yang diharamkan untuk dinikahi berdasarkan hubungan persusuan adalah senbagai
berikut.
a) Ibu susuan
(perempuan yang menyusui), karena posisinya sam dengan ibu bagi anak yang
disusuinya.
b) Ibu dari ibu
susuan, karena statusnya sebagai nenk bagi anak yang disusui.
c) Ibu dari suami
ibu susuan (mertua ibu susu, red), karena dia juga nenek bagi anak yang
disusui.
d) Saudara perempuan
ibu susu, karena dia menjadi bibi baginya.
e) Saudara
perempuan dari suami ibu susuan.
f) Anak keturunan
ibu susuan, baik dari pihak anak laki-laki maupun perempuan (cucu, dan
seterusnya), karena mereka adalah saudara satu susuan, begitu juga dengan anak-anak
mereka.
g) Saudara
perempuan satu susuan, baik dari pihak ayah dan ibu susuan maupun dari salah
satunya.
2. Jumlah
Penyusuan yang Menjadikan Haram Dinikahi
Dari Aisyah RA, dia menceritakan: “Di
antara ayat-ayat yang diturunkan dalam al-Qur’an adalah sepuluh kali penyusan
yang dimaklumi mengharamkan (orang yang menyusui dan disusui menikah), kemudian
dinaskh (dihapuskan) dengan lima kali penyusuan yang dimaklumi. Lalu
Rasulullah saw wafat, sedang ayat tersebut masih tetap dibacakan sebagai
ketetapan al-Qur’an.” (HR. Muslim dan Ibn Majah).
Maksudnya
adalah, di dalam al-Qur’an pernah disebut bahwa sepuluh kali penyusuan itu
menjadikan haram menikah anatar orang yang menyusui dengan anak yang disusui.
Kemudian dinaskh dengan lima kali penyusuan. Yang berarti lima kali
penyusuan menjadikan orang yang menyusui anak yang disusui haram menikah. Dan
lima kali penyusuan itu tetap dibaca sebagai ketetapan al-Qur’an ketika
Rasulullah wafat. Bahwa naskh dengan lima kali penyusuan itu turunnya
belakangan, sampai Rasulullah wafat dan sebagian orang membaca “lima kali
penyusuan” dan menjadikannya sebagai bagian dari al-Qur’an, karena mereka belum
mengetahui adanya naskh, maka merka pun meninggalkannya dan sepakat
bahwa hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai ketetapan al-Qur’an.
Pertama, naskh terhadap hukumnya
dan sekaligus bacaannya sebagai “sepuluh kali penyusuan” menjadi “lima kali
penyusuan”. Kedua, yang dinaskh hanyalah bacaannya saja dan tidak
pada hukumnya sebagai “lima kali penyusuan”, seperti halnya dua orang yang sudah
lanjut usia berzina, maka keduanyaharus tetap dirajam. Ketiga, yang di naskh
hanyalah hukumnya saja dan bacaan nya tetap berlaku.
Masih
dari Aisyah RA, ia berkata: “Diturunkan dalam al-Qur’an sepuluh kali penyusuan
yang dimaklumi. Kemudian turun juga lima kali penyusuan yang dimaklumi.” (HR.
Muslim).
Juga
dari Aisyah RA, nabi saw bersabda,
لاَتُحَرَّمُ الْمَصَّةُ وَلاَالْمَصَّتَانِ .(رواه مسلم وأبو داود
والترمذي)
“Sekali dua kali hisapan itu tidak
mengharamkan (pernikahan).” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi.)
Pengharaman
tersebut tidak berlaku pada penyusuan yang kurang dari lima kali hisapan secara
terpisah-pisah. Hal itu sesuai dengan hadits dari Aisyah diatas. Mengenai hal
ini sebagian ulama berbeda pendapat, dimanaAbu Ubaid, Abu Tsaur, Dawud
Azh-Zhahiri, Ibn Mundzir dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad berpegang pada
pendapat yang terakhir ini. Tetapi secara umum mereka sepakat bahwa penyusuan
yang kurang dari tiga hisapan tidak menyebabkan haramnya nikah antara orang yang
menyusui dan yang disusui. Dengan demikian pengharaman tersebut berlaku bagi
hisapan yang lebih dari tiga kali. Mereka berpegang pada sebuah hadits
Rasulullah saw yang menyatakan: “sekali dua kali hisapan itu tidak
mengharamkan (pernikahan antara yang menyusui dan yang disusui).” (HR,
Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
3. Diperbolehkan
Kesaksian Wanita yang Menyusui
Kesaksian wanita yang menyusui
seorang diri dapat diterima. Sebagian ulama yang lain mengatakan, “Kesaksian
wanita seorang diri tidak diperbolehkan kecuali dengan menyertai pihak lain.
“yang demikian merupakan pendapat Imam Syafi’i. sedangkan Imam Waqi’
berpendapat: “Kesaksian seorang wanita seorang diri tidak diperbolehkan dalam
masalah hukum, tetapi dikecualikan dalam hal penyusuan.”
Para ulama penganut Madzhab Hanafi
berpandapt, bahwa kesaksian dalam hal penyusuan harus diberikan oleh dua orang
laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Tidak diterima
kesaksian yang diberikan kaum wanita saja.
Adapun menurut Imam Malik: “kesaksian
dua orang wanita dapat diterima dengan syarat tersebarnya ucapan keduanya
tersebut sebelum memberikan kesaksian.” Dengan menggunakan hadits di atas
sebagai hujjah, Thawus, Az-Zuhri, Ibn Abi Dzi’b, Al-Auza’I dan sebuah riwayat
dari Imam Ahmad berpendapat, bahwa kesaksian wanita seorang diri dalam hal
penyusuan dapat diterima.
4. Air Susu
Seorang Wanita yang Bercampur Dengan Pemberian Makanan Lain
Jika air susu seroang wanita dicampur
dengan makanan, minuman, obat, susu kambing atau yang lainnya, lalu diminum
oleh yang disusui, maka jika yang lebih banyak adalah susu wanita tersebut,
maka diharamkan keduanya (yang menyusui dan yang disusui) menikah. Tetapi jika
yang lebih banyak bukan air susu wanita tersebut maka tidak diharamkan bagi
keduanya menikah. Demikian itu pendapat yang dikemukakan para ulama penganut
medzhab Hanafi, juga Al-Muzni dan Abu Tsaur.
Seorang oenganut madzhab Maliki, Ibn
Qasim mengatakan: “Jika air susu ibu dituang ke dalam air atau yang lainnya,
kemudian diminumkan kepada bayi, maka yang demikian itu tidak mengakibatkan
haram menikah antara keduanya.”
Imam syafi’I, Ibn Habib, Mutraf, Ibn
Majsyun dan salah seorang sahabat Imam Maliki mengatakan: “Bahwa demikian itu
menjadikan orang yang menyusui dan yang disusui dengan susu tersebut haram menikah.
Sebagaimana jika susu itu murni (tidak dicampur) atau bercampur tetapi tidak
mengalami perubahan.
5. Usia Anak
Susuan yang Menyebabkan Haramnya Pernikahan
Anak susuan yang diharamkan untuk
menikahi ibu susuan dan keluarganya adalah anak yang menyusu pada dua tahun
pertama dari usianya yang merupakan masa persusuan sebagaimana yang dijelaskan
di dalam al-Qur’an. Allah swt berfirman,
وَآلْوَا لِدَاتُ يُرْضِعْنَ اَوْ لَدَ هُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ
لِمَنْ اَرَادَاَن يُتِمَّ آلرَّضَاعَةَ
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah:223).
Sebab, pada usia dua tahun pertama,
usia anak masih kecil dan air susu sudah cukup baginya yang membantu
pertumbuhannya, sehingga anak tersebut menjadi bagian dari diri perempuan yang
menyusuinya. Karena itu, dia menjadi muhrim bagi perempuan yang menyusuinya,
juga anak-anaknya.[8]
Ibn ‘Adi meriwayatkan dari Ibn Abbas
ra., Dia berkata,
لاَرَضَاعَةَ
إِلاَّفِى الْحَوْلَيْنِ
“Tidak ada persusuan kecuali (sebelum) usia
dua tahun.”[9]
Ada juga riwayat lain yang marfu’
kepada Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda,
لاَرَضَاعَإِلاَّمَااَنْشَزَالْعَظْمَ
وَاَنْبَتَ اللَّحْمَ
“Tidak disebut persusuan,
kecuali yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.” HR Abu Daud.
Kondisi diatas (sebagaimana yang
disebut dalam hadits, red) tidak terjadi kecuali usia anak di bawah dua tahun,
di mana pada usia itu pertumbuhan anak masih bergantungan pada air susu.
Menurut Abu Hanifah dan Syafi’I, jika seorang anak disapih sebelum berusia dua
tahun dan dia masih memerlukan air susu ibu sebagai makanannya, kemudian dia di
susui oleh seorang perempuan, maka persusuan ini mengaharamkan pernikahan.
Pendapat ini berdasarkan pada hadits Rasulullah saw.,
إِنَمَا الَّر ضَاعَةَ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“sesungguhnya persusuan dapat
menghilangkan rasa lapar.”[10]
C. Hadhanah
1. Pengertian
Hadhanah
Hadhanah menurut bahasa
adalah Al- Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan menurut istilah memelihara
anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga
kepentingan anak, melindungi dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik
rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat
mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.[11]
Dalam istilah fiqh
digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan
hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam arti
sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang
lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya
putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara
suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan
ayah atau ibunya. [12]
2. Hukum dan
Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan
bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib
memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya
mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri dalam firman
Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :
“Adalah kewajiban ayah
untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”
Kewajiban membiayai anak
yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikatan dalam
tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
3. Rukun dan
Syarat Hadhanah
Pemeliharaan atau
pengasuh anak itu berlaku antara dua unsure yang menjadi rukun dalam hukumnya,
yaitu orangtua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau
madhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya
tugas pengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama
berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelh terjadinya
perceraian dan keduanya harus berpisah, makan ibu dan atau ayah berkewajiban
memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.
Ayah dan ibu yang akan
bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sudah dewasa.
Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh
karenanya belum dikenal kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum
dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran
sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk
dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk
orang lain.
3. Beragama Islam.
Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu
termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau
diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuhkan jauh dari
agamanya.
4. Adil dalam arti
menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa
kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten
dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkanh
untuk mengasuh dan memelihara abak yang masih kecil.[13]
5. Mampu mendidik,
jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan
justru terlantarkan berada di tangannya
6. Amanah
7. Merdeka, sebab
seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap
anak lebih tercurahkan kepada tuannya[14]
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu
adalah :
1. Ia masih berada
dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya
sendiri.
2. Ia berada dalam
keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri,
meskipun telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah
pengasuhnya siapapun.
Bila kedua orangtua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat
maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya
adalah ibu lebih memiliki kasih sayang dibandingkan ayah, sedangkan dalam usia
yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam
asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di
bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yamg disepakati
oleh ulama.
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu
mencapai usia tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia
tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah,
maka si anak diberi hak piih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk
pengasuhan selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya IMAM Ahmad
dan Syafi’iy.
Hak pilih diberikan kepada anak apabila terpenuhi dua syarat,
yaitu :
Pertama : kedua orang
tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana disebutkan di atas. Bila
salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka si anak diserahkan
kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
Kedua: si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam
keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu berhak mengasuh;
dan tidak ada hak pilih untuk si anak.
Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak
perempuan, ulama beda pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah.
Menurut pendapat Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak
perempuan itu diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah.
Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah, baha yang menjadi tujuan dari
hadhanah itu di samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang
telah mencapai tujuh tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada dibawah
ayahnya. Dia memerlukan pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini
dibandingkan dengan ibu.
Imam al-syafi’iy berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi
pilihan untuk hidup bersama ayahnya atau ibunya, sebagai mana yang berlaku pada
anak laki-laki. Abu hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk
melaksanakan hadhanah sampai dia kawin/haid. Menurut imam malik ibu berhak
sampai dia kawin/bergaul dengan bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia
tersebut tidak mampu untuk memilih
Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan
perjalanan yang akan kembali pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap
ditempat, maka yang menetap di tempat lebih berhak menjalankan hadhanah.
Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si
anak, oleh karena itu menetap lebih baik karena tidak ada resiko bagi si anak.
Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut
ulama ahlu ra’yi (hanafiyah) bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah maka
ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ketempat dilaksanakan
perkawinan, ibu yang berhak tapi bila pindah ke tempat lain, ayah lah yang
berhak. Ulama lainnya termasuk imam malik dan al-syafi’iy yang berhak atas
hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.
Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan
mereka semuanya memenuhi syarat yg ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka
urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama adalah :
1. Ibu, ibunya ibu
dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki kedudukan ibu, kemudian.
2. Ayah, ibunya
ayah dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki tempat ayah.
3. Ibunya kakek
melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya keatas.
4. Ibunya
kakek melalui ayah, dan seterusnya
keatas.
5. Saudara-saudara
perempuan ibu.
6. Saudara-saudara
perempuan dari ayah.
Lain dari urutan yang disebutkan diatas ulama tidak sepakat
dalam keutamaan haknya. bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan
haknya, kepada siapa hak hadhanah itu
beralih, menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat hak
hadhanah pindah kepada ayah, karena ibu ibunya merupakan cabang, sedangkan ayah
bukan merupakan cabang daripada haknya. Perndapat kedua yang dianggap lebih
kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah
kepada ibu ibunya, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.
Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya
berhak melarangnya untuk menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa
seperti tidak ditemukan perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak. [15]
4.
Macam- Macam Hadhanah
Hadhanah merupakan
kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga meskipun
kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak tetap berhak
mendapatkan perhatian dari kedua anakanya.
a) Hadhanah
Pada Masa Perkawinan.
UUP No. 1 tahun 1974
pasal 45, 465, 47 sebagai berikut:
Pasal 45:
1. Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua
yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau
berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
1. Anak wajib
menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.
2. Jika anak telah
dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam
garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan batuannya.
Pasal 47:
1. Anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
2. Orang tua mewakili
anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Dalam hal ayat 1
Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua orang tuanya dicabut
dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang
dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap berkewajiban.[16]
Namun demikian orang
tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak tersebut (ayat 2)
berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai tanggung jawab
yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua
berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di
bawah pengampuan. Dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.[17]
Ditambah dengan KHI
pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak
Pasal 98 :
1. Batas usia anak yang
mampu berdiri sendiri atau dewasa 21, sepanjang tidak cacat fisik atau
mental.
2. Orang tuanya mewakili
anaknya tersebut mengenai segala perbuatan.
3. PA (Pengadilan Agama)
dapat menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila orangtuanya tidak mampu.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah
:
1. Anak yang dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2. Hasil dari perbuatan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;
b)
Hadhanah Pada Masa Perceraian
Perceraian bukanlah
halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas dirinya dan kedua orang
tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada UUP NO.1 thn 1974 Pasal 41 tentang
akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1. Baik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak bilaman ada perselisihan mengenai
pengasuhan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak,
pengadilan memberi keputusan;
2. Bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak
dalam kenyataannya tidak dapt memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan
suatau kewajiban bagi bekas istri.[18]
Dan diatur juga dalam
KHI pada pasal 105 dalam permasalahan perceraian, yang mana anak pada saat itu
belum mumayyiz yaitu:
1. Belum berumur 12
tahun masih haknya seorang ibu.
2. Ketika sudah mumayyiz
disrahkan kepada anaknya untuk memilih diantara kedua orang tuanya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan di
tanggung oleh ayah.[19]
Sedangkan menurut
fikih 5 mazhab :
1. Hanafi: 7 tahun untuk
laki- laki dan 9 tahun untuk perempuan.
2. Syafi’I: Tidak ada
batasan tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bias menentukan atau berfikir
hal yang terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka
dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.
3. maliki: Anak laki-
laki hingga baligh dan perempuan hingga manikah.
4. Hambali: Masa anak
laki- laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.
5. Imamiyyah: Masa asuh
anak untuk laki- laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu
haknya ayah, hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia
laki- laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.[20]
6. Sedangkan dalam
KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada perceraian:
A)
Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal dunia,
maka kedudukannya diganti oleh;
1. Wanita- wanita dalam garis
lurus ke atas dari ibu,
2. Ayah,
3. Wanita dalam garis lurus ke
atas dari ayah,
4. Saudara- saudara perempuan dari
anak yang bersangkutan,
5. Wanita- wanita kerabat
sedarah menurut garis samping dari ibu,
6. Wanita- wanita sedarah
menurut garis samping ayah.
B) Anak yang sudah
mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya.
C)
Apabila pemegang hadhanah tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak
meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat
yang juga mempunyai hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk memindahkan hak
hadhanah.
D)
Biaya hadhanah tangung jawab ayah
sekurang- kurangnya sampai dewasa dan dapat mengurus
sendiri (21 tahun).
E)
Apabila ada perselisihan PA dapat
memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.
F)
Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya pada penetapan jumlah biaya
untuk
memelihara dan pendidikan anak.
D. Pendidikan
Anak (Tarbiyatul Aulad)
1. Mendidik Anak yang Benar Menurut Agama Islam
Cara mendidik anak yang benar menurut para ahli sudah banyak dikemukakan di berbagai media yang
berfokus pada pendidikan karakter anak. Banyak para ahli yang menerapkan cara
mendidik anak secara moderen yang tak jarang dari beberapa cara tersebut yang
sesungguhnya jauh dari ajaran agama Islam. Bagi orang tua yang beragama Islam
dan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, tentu saja cara mendidik anak haruslah
berdasarkan dengan kaidah- kaidah dalam Islam. Dalam hal ini bukan berarti
orang tua muslim tidak boleh memberikan pendidikan modern terhadap anak-
anaknya, melainkan bahwa orang tua harus menempatkan agama Islam sebagai
pondasi utama dalam mendidik sang anak di atas metode pendidikan modern yang
lain. Hal ini penting untuk dilakukan agar mampu menyaring mana yang baik dan
mana yang buruk bagi mereka, serta mana yang diijinkan dan mana tidak diijinkan
untuk dilakukan dalam agama mereka.
Mendidik anak yang benar menurut agama Islam meliputi apa,
mengapa, dan bagaimana cara mendidik anak yang sesuai dengan ajaran- ajaran
agama Islam dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah S.A.W. Terdapat banyak sekali
cara mendidik anak secara Islam yang dapat diterapkan oleh orang tua kepada
anak- anaknya sejak dini, bahkan saat mereka masih di dalam kandungan. Cara mendidik anak yang benar dalam Islam merupakan suatu cara
dalam memberikan ilmu pengetahuan, pemahaman- pemahaman, serta
pengenalan-pengenalan kepada sang anak dalam tumbuh kembangnya agar mereka
melakukan hal- hal yang sesuai dengan kaidah- kaidah dan ajaran- ajaran dalam Islam.
Cara ini dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Al Qur’an, Al Hadist serta
sunnah- sunnah Islam sebagai acuan dasar untuk mengembangkan pendidikan kepada
anak. Dalam menerapkan cara mendidik anak secara Islam, orang tua haruslah
terlebih dahulu memahami mengenai bagaimana cara mendidik anak menurut Islam
serta larangan- larangan apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam mendidik
anak. Dalam pelaksanannya, terdapat beberapa cara mendidik anak yang baik dan
benar dan sesuai menurut kaidah- kaidah agama Islam. Beberapa cara yang dapat
diterapkan oleh orang tua muslim antara lain sebagai berikut :
A. Mulai mengajarkan
aqidah dan tauhid kepada anak sejak dini.
Seperti yang kita
ketahui bahwa Allah S.W.T telah meniupkan ruh kepada janin yang ada di dalam
rahim seorang ibu semenjak empat puluh hari terbentuknya kehamilan di dalam
rahim sang ibu. Kehadiran seorang anak merupakan anugerah dari Allah S.W.T yang
mana hal tersebut berarti bahwa segala sesuatunya berasal dari Allah dan akan
kembali lagi kepada Allah Ta’ala. Dengan berpegang teguh pada hal ini, orang
tua harus mengetahui bahwa anak merupakan titipan Tuhan yang sewaktu waktu
dapat diambil. Untuk itulah, wajib bagi orang tua mendidik dan membesarkan sang
anak sesuai dengan tuntunan dari Sang Pemilik, yakni Allah S.W.T yang telah
diajarkan kepada Rasul Nya. Dengan kesadaran penuh seperti ini, maka dalam
mendidik anak, orang tua wajib mengajarkan anak syari’at Islam. Hal yang dapat
dilakukan adalah dnegan mengajarkan aqidah akhlak serta ajaran tauhid kepada
sang anak sejak dini, bahkan semenjak anak berada di dalam kandungan seperti
dengan membiasakan diri mendengarkan ayat ayat Al Qur’an. Ketika anak telah
lahir dan mulai mampu mengenal lingkungan sekitar, maka orang tua bisa memulai
menerapkan ajaran akidah akhlak yang sesuai dengan syari’at Islam kepada sang
anak seperti melatih sang anak untuk mengucapkan salam, melatih anak menghafal
do’a do’a ringan seperti do’a sebelum makan, do’a sebelum tidur, do’a masuk ke
kamar mandi, dan sebagainya.
B. Mengajarkan cara
menunaikan ibadah yang sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam
Orang tua muslim
wajib hukumnya untuk mengajarkan tentang tata cara beribadah kepada anak sejak
dini dengan baik dan benar. Hal ini penting untuk dilakukan pada saat anak
masih berusia dini agar anak terbiasa dengan kewajiban- kewajiban yang harus ia
laksanakan dalam kehidupan beragama yang ia laksanakan. Cara memulai
membiasakan sang anak untuk beribadah sejak dini dapat dilakukan dengan melatih
anak dari hal- hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengajarkan
kepada anak mengenai tata cara berwudhu yang baik, melibatkan anak untuk sholat
berjamaah di rumah serta melatih anak untuk berpuasa semampu mereka. Yang perlu
ditekankan untuk orang tua dalam melatih anak menjalankan ibadah adalah jangan
terlalu memaksa mereka dengan kata- kata dan perbuatan yang kasar sehingga
mereka tidak akan menganggap bahwa agama merupakan suatu paksaan. Buatlah
situasi senyaman mungkin dalam melatih anak mengenali agamanya dengan
beribadah, karena dengan demikian akan menumbuhkan rasa cinta kepada sang anak
terhadap agama yang dianutnya sehingga sang anak akan dengan sendirinya merasa
membutuhkan agama tersebut dan mereka akan menjadikan agama sebagai pegangan
bagi mereka dalam menjalankan kehidupan sehari- hari kelak hingga mereka tumbuh
dewasa nanti.
C. Mengajarkan Al Qur’an
dan Al Hadist kepada anak
Sejak anak mulai
mengenal huruf dan baca tulis, maka mulailah untuk mengajarkan Al Qur’an dan Al
Hadist kepada sang anak. Tentu saja bukan berarti anak harus mempelajarinya
dengan skala berat, melainkan dengan skala yang ringan dan menerapkannya dari
tahap yang paling awal. Dalam hal ini, orang tua dapat mulai mengenalkan Al
Qur’an dengan mengajarkan Iqro kepada sang anak, membantu mereka mengeja huruf-
huruf Arab yang baru mereka kenal serta mengajarkan do’a- do’a yang baik kepada
sang anak. Sebagai tambahan dalam membentuk akhlak sang anak, maka orang tua
dapat juga membacakan kisah- kisah para nabi kepada sang anak sebagai dongeng
sebelum tidur. Dengan membiasakan anak mengetahui kisah- kisah yang di dalamnya
terdapat suri tauladan yang baik, maka sang anak juga akan mendapatkan input
yang baik bagi hidupnya yang mana hal ini akan mampu mendorong sang anak
menirukan hal- hal baik dari apa yang telah mereka dengar. Hindarkann sang anak
dari pengaruh buruk yang dapat mempengaruhi mereka seperti melihat acara
televisi yang kurang mendidik. Dampingilah sang anak dan arahkan sang anak
untuk menyaksikan acara televisi yang mengandung unsur pendidikan agama
sehingga sang anak akan terhindar dari pengaruh buruk media massa yang semakin
hari semakin mengancam perkembangan sang anak karena tayangan- tayangan yang
kurang mendidik.
D. Mendidik anak dengan
akhlak yang mulia
Cara ini merupakan
cara yang paling penting dalam mendidik anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang
tangguh dan berakhlak mulia. Mendidik anak dengan akhlak yang mulia dapat
dimulai dari lingkungan yang paling sederhana yakni di lingkungan rumah atau
lingkungan keluarga. Pembentukan akhlak yang mulia dapat dilakukan dengan
memberikan tauladan sederhana kepada sang anak dengan melatih anak untuk
mencium tangan orang tua, mengucap salam ketika mereka bertemu dengan orang
lain, serta melatih anak untuk selalu berkata- kata baik. Selain itu,
membiasakan sang anak untuk meminta maaf apabila berbuat salah serta
mengajarkan anak untuk tidak segan meminta tolong dan mengucapkan terima kasih
juga merupakan cara yang baik dalam mendidik anak agar berakhlak mulia. Kita
harus menyadari bahwa anak- anak kita diumpamakan bagai selembar kertas putih
yang mana bisa kita tulisi dengan apa saja, entah baik atau buruk, akan
tertinggal di sana. Maka dari itu alangkah baiknya sebagai orang tua hendaknya
selalu menggoreskan hal- hal yang baik kepada sang anak dengan menanamkan
ajaran agama Islam yang baik serta memberikan contoh akhlak yang mulia agar
goresan yang tersisa pada selembar kertas putih tersebut adalah goresan yang
baik dan membekas di hati sang anak. Dengan demikian, ang anak mampu menolak
hal- hal buruk yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka dapatkan
apabial mereka telah tumbuh dewasa dan mampu membedakan mana yang benar dan
mana yang salah dalam hidup mereka.
E. Mengajarkan anak
untuk mencintai lingkungan
Alam semesta
diciptakan oleh Allah S.W.T untuk memenuhi segala kebutuhan manusia di dunia.
Binatang dan tumbuh- tumbuhan merupakan maklhuk Allah yang hidup dan bernafas
selain manusia. Untuk itu, dalam mengajarkan pendidikan kepada anak, perlu bagi
orang tua untuk mengajari anak mencintai lingkungan sekitar sebagai bentuk
melatih rasa syukur anak atas anugerah yang telah diberikan oleh Allah S.W.T.
Dengan melatih anak untuk mencintai lingkungan sekitar, maka anak akan
menyadari bahwa ia tidaklah hidup sendiri di dunia ini dan ia diciptakan
sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain sehingga ia
diwajibkan untuk menjaga lingkungan ciptaan Allah. Dengan menanamkan rasa cinta
lingkungan karena Allah, maka akan terbentuk pribadi yang bersyukur dan tidak
menjadi generasi perusak di muka bumi.[21]
2.
Tahapan Mendidik anak seperti Rasulullah
Tahapan bagaimana mendidik anak mengikut sunnah Rasulullah s.a.w
adalah :
Pertama : Umur anak-anak 0-6 tahun. Pada masa ini, Rasulullah s.a.w
menyuruh kita untuk memanjakan, mengasihi dan menyayangi anak dengan kasih
sayang yg tidak berbatas. Berikan mereka kasih sayang tanpa mengira anak sulung
mahupun bongsu dengan bersikap adil terhadap setiap anak-anak. Tidak boleh dipukul sekiranya
mereka melakukan kesalahan walaupun atas dasar untuk mendidik.
Sehingga, anak-anak akan lebih dekat dengan kita dan merasakan kita sebagai bagian dari dirinya saat besar, yang dapat dianggap sebagai teman dan rujukan yang terbaik. Anak-anak merasa aman dalam meniti usia kecil mereka karena mereka tahu anda (ibu bapak) selalu ada disisi mereka setiap masa.
Sehingga, anak-anak akan lebih dekat dengan kita dan merasakan kita sebagai bagian dari dirinya saat besar, yang dapat dianggap sebagai teman dan rujukan yang terbaik. Anak-anak merasa aman dalam meniti usia kecil mereka karena mereka tahu anda (ibu bapak) selalu ada disisi mereka setiap masa.
Kedua : Umur anak-anak 7-14 tahun. Pada tahap ini kita mula menanamkan nilai DISIPLIN dan TANGUNGJAWAB kepada
anak-anak. Menurut hadits Abu Daud, “Perintahlah anak-anak kamu supaya
mendirikan shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena
meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun dan asingkanlah tempat
tidur di antara mereka (lelaki dan perempuan). Pukul itu pula bukanlah
untuk menyiksa, cuma sekadar untuk mengingatkan mereka. Janganlah dipukul bagian
muka karena muka adalah tempat penghormatan seseorang. Allah SWT mencipta
sendiri muka Nabi Adam.
Sehingga, anak-anak akan lebih bertanggungjawab pada setiap suruhan terutama dalam mendirikan sholat. Inilah masa terbaik bagi kita dalam memprogramkan kepribadian dan akhlak anak-anak mengikut acuan Islam. Terserah pada ibu bapak apakah ingin menjadikan mereka seorang muslim, yahudi, nasrani ataupun majusi.
Sehingga, anak-anak akan lebih bertanggungjawab pada setiap suruhan terutama dalam mendirikan sholat. Inilah masa terbaik bagi kita dalam memprogramkan kepribadian dan akhlak anak-anak mengikut acuan Islam. Terserah pada ibu bapak apakah ingin menjadikan mereka seorang muslim, yahudi, nasrani ataupun majusi.
Ketiga : Umur anak-anak 15- 21 tahun. Inilah
fasa remaja yang penuh sikap memberontak. Pada tahap ini, ibubapa seeloknya
mendekati anak-anak dengan BERKAWAN
dengan mereka. Banyakkan berborak dan berbincang dengan mereka tentang perkara
yang mereka hadapi. Bagi anak remaja perempuan, berkongsilah dengan mereka
tentang kisah kedatangan ‘haid’ mereka dan perasaan mereka ketika itu. Jadilah
pendengar yang setia kepada mereka. Sekiranya tidak bersetuju dengan sebarang
tindakan mereka, hindari menghardik atau memarahi mereka terutama dihadapan
saudara-saudaranya yang lain tetapi gunakan pendekatan secara diplomasi walaupun
kita adalah orang tua mereka. Sehingga, tidak ada orang ketiga atau ‘asing’
akan hadir dalam hidup mereka sebagai tempat rujukan dan pendengar masalah
mereka. Mereka tidak akan terpengaruh untuk keluar rumah untuk mencari
kesenangan lain karena memandangkan semua kebahagian dan kesenangan telah ada
di rumah bersama keluarga.
Keempat : Umur anak 21
tahun dan ke atas. Fase ini
adalah masa ibu bapak untuk memberikan sepenuh KEPERCAYAAN kepada anak-anak dengan memberi KEBEBASAN dalam membuat
keputusan mereka sendiri. Ibu bapak hanya perlu pantau, menasehati dengan
diiringi doa agar setiap tindakan yang diambil mereka adalah betul. Berawal
dari pengembaraan kehidupan mereka yang benar di luar rumah. InsyaAllah dengan
segala displin yang diasah sejak tahap ke-2 sebelum ini cukup menjadi benteng
diri buat mereka. Ibu bapak jangan lelah untuk menasihati mereka, kerana
kalimat nasihat yang diucap sebanyak 200 kali atau lebih terhadap anak-anak
mampu membentuk tingkah aku yang baik seperti yang ibu bapak inginkan.[22]
3. Kesalahan Dalam Mendidik Anak Menurut Islam
Orang tua yang baik
adalah orang tua yang selalu berusaha untuk mendidik anak mereka agar menjadi
anak yang soleh, beriman dan berakhlak mulia. Cara mendidik anak yang salah
dapat berakibat buruk pada pembentukan karakter anak, meskipun ada faktor lain
diluar keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan mereka.
Menurut Islam tugas memelihara anak
kita agar menjadi anak yang beriman adalah wajib, seperti yang tercantum dalam
Firman Allah Dalam Quran Surah At Tahrim ayat 6,:
" Wahai
orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka
yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu...".
Ada beberapa kesalahan yang harus kita
hindari dalam mendidik anak menurut islam agar anak dapat tumbuh dan berkembang
menjadi anak yang beriman, soleh dan berakhlak mulia.
Berikut 10 kesalahan orang tua dalam
mendidik anak-anak mereka menurut islam.
1. Memberi didikan yang tidak seimbang
Tidak seimbang antara didikan jasmani
(fisik), rohani (keagamaan) dan keilmuan. Saat ini banyak orang tua yang lebih
mementingkan pendidikan ilmu (misalnya matematika, ipa, bahasa inggris, dll)
dari pada pendidikan keagamaan.
2. Menegur anak secara negatif
Mengeluarkan kata-kata kasar dan makian
kepada anak-anak saat kita marah karena kesalahan yang diperbuat anak.
Janganlah kita membandingkan anak kita dengan saudaranya atau anak orang lain.
3. Tidak tegas dalam mendidik anak
Tidak menjadwalkan kegiatan harian yang
positif bagi anak dan terlalu memfokuskan anak-anak kepada sesuatu aktivitas
saja tanpa memperhatikan perasaan mereka.
4. Kurang mengawasi acara TV ataupun
video yang ditonton anak.
Pengawasan terhadap apa yang ditonton
anak sangat penting, kerena saat ini banyak acara TV menonjolkan akhlak yang
kurang baik, seperti pergaulan bebas, pakaian yang tidak sesuai kaidah agama
dan perbuatan yang tidak pantas ditonton anak-anak.
5. Tidak mengajarkan kebiasaan yang
baik di rumah
Tidak pernah mengajar anak untuk
memberi dan membalas salam, makan bersama, solat berjemaah, beribadah
bersama-sama, dan sebagainya.
6. Kurang memberi sentuhan kepada semua
anak.
Rasulullah sering membelai cucu-cucunya dan
mencium mereka. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:
Pada suatu hari Rasulullah SAW mencium
Al-Hassan atau Al Hussien bin Ali r.a. Ketika itu Agra' bin Habis At-Tamimiy sedang berada di rumah
baginda. Berkata Agra' : "Ya Rasulullah! Aku mempunyai sepuluh orang anak,
tetapi aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka." Rasulullah
melihat kepada Agra' kemudian berkata : "Siapa yang tidak mengasihi tidak
akan dikasihi."-(Maksud Al-Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)
7. Terlalu bergantung kepada pembantu
rumah untuk mendidik anak-anak.
Sebagai orang tua kitalah yang akan
ditanyakan mengenai anak-anak kiata di akhirat kelak.
Oleh
karena itu menjadi kepentingan kita untuk berusaha memastikan anak-anak
terdidik dengan pendidikan Islam.
8. Bertengkar di depan anak-anak.
Ini akan menyebabkan anak-anak tertekan dan membenci salah seorang dari
ibu bapaknya.
9. Penampilan diri yang kurang baik dan kurang
pantas.
Orang tua tidak menunjukkan cara
berpakaian yang pantas dan yang sesuai syariat bila berada di rumah, yaitu
berpakaian yang tidak rapih dan seksi di hadapan anak-anak.
10. Membiarkan orang yang tidak baik
sikap dan perbuatannya masuk ke dalam rumah kita, baik dari kalangan
sahabat sendiri ataupun sahabat anak-anak.
Hal ini akan memberikan contoh yang tidak
baik kepada anak-anak.[23]
[1] DR. Abdul Karim Zaidan Al-Mufassol fi Ahkam al-Mar’ah
(Beirut, Muassasah ar-Risalah tahun 1993) hlm. 321
[2] Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II
Bandung.cv Pustaka Setia).hlm 171
[3]AL Abdulan Majid Mahmud Muthlub Wazif Fi Ahkam Al Usroh
Al Islamiyah, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Alih Bahasa : Harits Fadly
dan Ahmad Khotib, Era media. Cet 1( Solo 2005,) hal: 520.
[4] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah Jilid 3 Tahkik dan
takhrij : Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Cakrawala Publishing,Jakarta 2011)
hlm. 398
[5] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (
Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195
[6] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,
(Bandung : Citra Aditya Bakti,1993), h. 95
[7] Syaikh Kamil
Muhammad ‘Uwaih, Fiqih Wanita Edisi Lengkap (Jakarta, Pustaka
Al-Kautsar, 1998) hlm. 467.
[8] HR Daruqutni
[9] HR Daruqutni, kitab “ar-Radha,” jilid IV, hal:174,
(10,11).
[10] HR Bukhari, kitab an-Nikah, bab “Man Qala: La Radha’a
ba’da Haulain,” jilid VII, hal: 12.
[11] Hakin Rahmat, Hukum PerkawinanIslam, (
Bandung; Pustaka Setia, 2000), hlm. 224
[12] Prof.DR.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Kencana 2007) hlm. 327-328
[13] Prof.DR.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Kencana 2007) hlm. 328-329
[14] Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, ( Jogyakarta; Citra Karsa Mandiri, 2002),
hlm. 304
[15] Prof.DR.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta:
Kencana 2007) hlm. 331-333
[16]
Rahmad hakim, Hukum Perkawinan Islam,(Bandung;
Pustaka Setia, 2000), 242- 243
[17]
Abdul Rahmad Ghazaly, Fikih Munakahat,(Bogor;
Kencana,2003), 189- 190
[18] Abdul Rahmad Ghazaly, Fikih
Munakahat,(Bogor; Kencana,2003), hlm 241
[19] Abdul Rahman Ghazaly, fikih
Munakahat, (Bogor; kencana, 2003), hlm. 189
[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih 5
mazdab, ( Jakarta; Lentera, 2002), 417-418
[21]
http://mutiarabijaksana.com/2014/06/21/ketahui-cara-mendidik-anak-yang-benar-menurut-agama-islam/
[22] https:/
notes/kalwati-dewi-ii/4-tahap-mendidik-anak-cara-rasulullah-saw/1797952253676875
[23] http://bacasitus.blogspot.com/2013/09/10-kesalahan-dalam-mendidik-anak.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar