Jumat, 14 November 2014

Nasab, Radha'ah, Hadhanah, Pendidikan anak (Tarbiyatul Aulad)



A.    Nasab

1.      Pengertian Nasab
Nasab menurut bahasa berarti keturunan atau kerabat. Secara etimologi dalam Ensiklopedia Indonesia, nasab di definisikan sebagai keturunan ikatan keluarga sebagai hubungan darah baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun ke samping (saudara, paman, bibi dan lain-lain). [1]
Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut;
a.   Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil perbuatannya dengan suaminya.
b.   Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya.
c.    Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.[2]
Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi:


Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang Maha Kuasa. (Qs. Al-Furqan : 54)

Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia mempunyai hak-hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhi hak tersebut. Ada 5 bagian hak anak yaitu: Nasab (garis keturunan), penyusunan, pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan berbagai jenisnya yaitu perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta serta nafkah.[3]


2.      Dasar-dasar Nasab Menurut fiqh Islam
Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan. Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

a.      Melalui pernikahan yang sah

Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist, yang artinya:
anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu ) dan bagi pezina adalah rajam”.
 b.      Nasab yang Ditetapkan Melalui Pernikahan Fasid
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak-anak dalam pernikaha fasid tersebut antara lain:  
-          Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil.
-           Hubungan senggama bisa dilaksakan.
-          Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama hanafiyah).[4]

3.      Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak diluar nikah ini, dibagi ke dalam dua kategori :
a.       Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.
b.      Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
1.      Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya
2.  Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
3. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.[5]

4.     Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[6]

B. Radha’ah
1.      Pengertian Radha’ah
Menurut bahasa, Radha’ah berarti penyusuan.[7] Hubungan persusuan juga dapat menghalangi terjadinya pernikahan sebagaimana halnya hubungan nasab.
Allah swt. Berfirman mengenai hubungan muhrim ahram karena persusuan,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَـتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَاَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّتُكُمْ وَخَلاَتُكُمْ وبَنَا تُآلْأْخِ وَبَنَا تُ آلْأُخْتِ وَاُمَّهَتُكُمْ آلَّتِي~اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوَا تُكُمْ مِّنَ آلرَّضَعَةِ...
 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibymu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” (An-nisa’:23).
Ayat di atas dapat dipahami bahwa, ibu susuan posisinya sama dengan ibu kandung. Anak susuan haram menikahi ibu susuannya berikut keturunannya sebagaimana dia diharamkan untuk menikahi keturunan ibu kandungnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang diharamkan untuk dinikahi berdasarkan hubungan persusuan adalah senbagai berikut.
a)      Ibu susuan (perempuan yang menyusui), karena posisinya sam dengan ibu bagi anak yang disusuinya.
b)      Ibu dari ibu susuan, karena statusnya sebagai nenk bagi anak yang disusui.
c)      Ibu dari suami ibu susuan (mertua ibu susu, red), karena dia juga nenek bagi anak yang disusui.
d)      Saudara perempuan ibu susu, karena dia menjadi bibi baginya.
e)      Saudara perempuan dari suami ibu susuan.
f)       Anak keturunan ibu susuan, baik dari pihak anak laki-laki maupun perempuan (cucu, dan seterusnya), karena mereka adalah saudara satu susuan, begitu juga dengan anak-anak mereka.
g)      Saudara perempuan satu susuan, baik dari pihak ayah dan ibu susuan maupun dari salah satunya.
2.      Jumlah Penyusuan yang Menjadikan Haram Dinikahi
Dari Aisyah RA, dia menceritakan: “Di antara ayat-ayat yang diturunkan dalam al-Qur’an adalah sepuluh kali penyusan yang dimaklumi mengharamkan (orang yang menyusui dan disusui menikah), kemudian dinaskh (dihapuskan) dengan lima kali penyusuan yang dimaklumi. Lalu Rasulullah saw wafat, sedang ayat tersebut masih tetap dibacakan sebagai ketetapan al-Qur’an.” (HR. Muslim dan Ibn Majah).
Maksudnya adalah, di dalam al-Qur’an pernah disebut bahwa sepuluh kali penyusuan itu menjadikan haram menikah anatar orang yang menyusui dengan anak yang disusui. Kemudian dinaskh dengan lima kali penyusuan. Yang berarti lima kali penyusuan menjadikan orang yang menyusui anak yang disusui haram menikah. Dan lima kali penyusuan itu tetap dibaca sebagai ketetapan al-Qur’an ketika Rasulullah wafat. Bahwa naskh dengan lima kali penyusuan itu turunnya belakangan, sampai Rasulullah wafat dan sebagian orang membaca “lima kali penyusuan” dan menjadikannya sebagai bagian dari al-Qur’an, karena mereka belum mengetahui adanya naskh, maka merka pun meninggalkannya dan sepakat bahwa hal tersebut tidak lagi dianggap sebagai ketetapan al-Qur’an.
 Pertama, naskh terhadap hukumnya dan sekaligus bacaannya sebagai “sepuluh kali penyusuan” menjadi “lima kali penyusuan”. Kedua, yang dinaskh hanyalah bacaannya saja dan tidak pada hukumnya sebagai “lima kali penyusuan”, seperti halnya dua orang yang sudah lanjut usia berzina, maka keduanyaharus tetap dirajam. Ketiga, yang di naskh hanyalah hukumnya saja dan bacaan nya tetap berlaku.
Masih dari Aisyah RA, ia berkata: “Diturunkan dalam al-Qur’an sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi. Kemudian turun juga lima kali penyusuan yang dimaklumi.” (HR. Muslim).
Juga dari Aisyah RA, nabi saw bersabda,
لاَتُحَرَّمُ الْمَصَّةُ وَلاَالْمَصَّتَانِ .(رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
Sekali dua kali hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan).” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi.)
Pengharaman tersebut tidak berlaku pada penyusuan yang kurang dari lima kali hisapan secara terpisah-pisah. Hal itu sesuai dengan hadits dari Aisyah diatas. Mengenai hal ini sebagian ulama berbeda pendapat, dimanaAbu Ubaid, Abu Tsaur, Dawud Azh-Zhahiri, Ibn Mundzir dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad berpegang pada pendapat yang terakhir ini. Tetapi secara umum mereka sepakat bahwa penyusuan yang kurang dari tiga hisapan tidak menyebabkan haramnya nikah antara orang yang menyusui dan yang disusui. Dengan demikian pengharaman tersebut berlaku bagi hisapan yang lebih dari tiga kali. Mereka berpegang pada sebuah hadits Rasulullah saw yang menyatakan: “sekali dua kali hisapan itu tidak mengharamkan (pernikahan antara yang menyusui dan yang disusui).” (HR, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).

3.      Diperbolehkan Kesaksian Wanita yang Menyusui
Kesaksian wanita yang menyusui seorang diri dapat diterima. Sebagian ulama yang lain mengatakan, “Kesaksian wanita seorang diri tidak diperbolehkan kecuali dengan menyertai pihak lain. “yang demikian merupakan pendapat Imam Syafi’i. sedangkan Imam Waqi’ berpendapat: “Kesaksian seorang wanita seorang diri tidak diperbolehkan dalam masalah hukum, tetapi dikecualikan dalam hal penyusuan.”
Para ulama penganut Madzhab Hanafi berpandapt, bahwa kesaksian dalam hal penyusuan harus diberikan oleh dua orang laki-laki, atau satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Tidak diterima kesaksian yang diberikan kaum wanita saja.
Adapun menurut Imam Malik: “kesaksian dua orang wanita dapat diterima dengan syarat tersebarnya ucapan keduanya tersebut sebelum memberikan kesaksian.” Dengan menggunakan hadits di atas sebagai hujjah, Thawus, Az-Zuhri, Ibn Abi Dzi’b, Al-Auza’I dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad berpendapat, bahwa kesaksian wanita seorang diri dalam hal penyusuan dapat diterima.

4.      Air Susu Seorang Wanita yang Bercampur Dengan Pemberian Makanan Lain
Jika air susu seroang wanita dicampur dengan makanan, minuman, obat, susu kambing atau yang lainnya, lalu diminum oleh yang disusui, maka jika yang lebih banyak adalah susu wanita tersebut, maka diharamkan keduanya (yang menyusui dan yang disusui) menikah. Tetapi jika yang lebih banyak bukan air susu wanita tersebut maka tidak diharamkan bagi keduanya menikah. Demikian itu pendapat yang dikemukakan para ulama penganut medzhab Hanafi, juga Al-Muzni dan Abu Tsaur.
Seorang oenganut madzhab Maliki, Ibn Qasim mengatakan: “Jika air susu ibu dituang ke dalam air atau yang lainnya, kemudian diminumkan kepada bayi, maka yang demikian itu tidak mengakibatkan haram menikah antara keduanya.”
Imam syafi’I, Ibn Habib, Mutraf, Ibn Majsyun dan salah seorang sahabat Imam Maliki mengatakan: “Bahwa demikian itu menjadikan orang yang menyusui dan yang disusui dengan susu tersebut haram menikah. Sebagaimana jika susu itu murni (tidak dicampur) atau bercampur tetapi tidak mengalami perubahan.
5.      Usia Anak Susuan yang Menyebabkan Haramnya Pernikahan
Anak susuan yang diharamkan untuk menikahi ibu susuan dan keluarganya adalah anak yang menyusu pada dua tahun pertama dari usianya yang merupakan masa persusuan sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’an. Allah swt berfirman,
وَآلْوَا لِدَاتُ يُرْضِعْنَ اَوْ لَدَ هُنَّ حَوْلَيْنِ كَا مِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَاَن يُتِمَّ آلرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (Al-Baqarah:223).
Sebab, pada usia dua tahun pertama, usia anak masih kecil dan air susu sudah cukup baginya yang membantu pertumbuhannya, sehingga anak tersebut menjadi bagian dari diri perempuan yang menyusuinya. Karena itu, dia menjadi muhrim bagi perempuan yang menyusuinya, juga anak-anaknya.[8]
Ibn ‘Adi meriwayatkan dari Ibn Abbas ra., Dia berkata,
لاَرَضَاعَةَ إِلاَّفِى الْحَوْلَيْنِ
 “Tidak ada persusuan kecuali (sebelum) usia dua tahun.”[9]
Ada juga riwayat lain yang marfu’ kepada Rasulullah saw bahwasannya beliau bersabda,
لاَرَضَاعَإِلاَّمَااَنْشَزَالْعَظْمَ وَاَنْبَتَ اللَّحْمَ
 “Tidak disebut persusuan, kecuali yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.” HR Abu Daud.
Kondisi diatas (sebagaimana yang disebut dalam hadits, red) tidak terjadi kecuali usia anak di bawah dua tahun, di mana pada usia itu pertumbuhan anak masih bergantungan pada air susu. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’I, jika seorang anak disapih sebelum berusia dua tahun dan dia masih memerlukan air susu ibu sebagai makanannya, kemudian dia di susui oleh seorang perempuan, maka persusuan ini mengaharamkan pernikahan. Pendapat ini berdasarkan pada hadits Rasulullah saw.,
إِنَمَا الَّر ضَاعَةَ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“sesungguhnya persusuan dapat menghilangkan rasa lapar.”[10]







C.      Hadhanah

1.      Pengertian Hadhanah
Hadhanah menurut bahasa adalah Al- Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.[11]
Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam arti sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan ayah atau ibunya. [12]
2.      Hukum dan Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :
“Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikatan dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
3.      Rukun dan Syarat Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuh anak itu berlaku antara dua unsure yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orangtua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau madhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelh terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, makan ibu dan atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenal kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2.      Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
3.      Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuhkan jauh dari agamanya.
4.      Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkanh untuk mengasuh dan memelihara abak yang masih kecil.[13]
5.      Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya
6.      Amanah
7.      Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya[14]


Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :

1.   Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2.   Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhnya siapapun.

Bila kedua orangtua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki kasih sayang dibandingkan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yamg disepakati oleh ulama.

Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak piih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya IMAM Ahmad dan Syafi’iy.

Hak pilih diberikan kepada anak apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama :  kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

Kedua: si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu berhak mengasuh; dan tidak ada hak pilih untuk si anak.

Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama beda pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut pendapat Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak perempuan itu diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah. Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah, baha yang menjadi tujuan dari hadhanah itu di samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang telah mencapai tujuh tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada dibawah ayahnya. Dia memerlukan pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini dibandingkan dengan ibu.

Imam al-syafi’iy berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk hidup bersama ayahnya atau ibunya, sebagai mana yang berlaku pada anak laki-laki. Abu hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah sampai dia kawin/haid. Menurut imam malik ibu berhak sampai dia kawin/bergaul dengan bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut tidak mampu untuk memilih

Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap ditempat, maka yang menetap di tempat lebih berhak menjalankan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak, oleh karena itu menetap lebih baik karena tidak ada resiko bagi si anak.

Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut ulama ahlu ra’yi (hanafiyah) bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah maka ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ketempat dilaksanakan perkawinan, ibu yang berhak tapi bila pindah ke tempat lain, ayah lah yang berhak. Ulama lainnya termasuk imam malik dan al-syafi’iy yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.

Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semuanya memenuhi syarat yg ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama adalah :
1.      Ibu, ibunya ibu dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki kedudukan ibu, kemudian.
2.      Ayah, ibunya ayah dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki tempat ayah.
3.      Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya keatas.
4.      Ibunya kakek  melalui ayah, dan seterusnya keatas.
5.      Saudara-saudara perempuan ibu.
6.      Saudara-saudara perempuan dari ayah.

Lain dari urutan yang disebutkan diatas ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya,  kepada siapa hak hadhanah itu beralih, menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibu ibunya merupakan cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya. Perndapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibu ibunya, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.

Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak melarangnya untuk menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa seperti tidak ditemukan perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak. [15]

4.      Macam- Macam Hadhanah
Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua anakanya.
a)   Hadhanah Pada Masa Perkawinan.
UUP No. 1 tahun 1974 pasal 45, 465, 47 sebagai berikut:
Pasal 45:
1.      Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
2.      Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku  sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
1.      Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.
2.      Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan batuannya.
Pasal 47:
1.      Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
2.      Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Dalam hal ayat 1 Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua orang tuanya dicabut dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa  atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap berkewajiban.[16]
Namun demikian orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan. Dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.[17]


Ditambah dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak
Pasal 98 :
1.      Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 21, sepanjang tidak cacat fisik  atau mental.
2.      Orang tuanya mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan.
3.      PA (Pengadilan Agama) dapat menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila orangtuanya  tidak mampu.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah :
1.      Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
2.      Hasil dari perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;
b)            Hadhanah Pada Masa Perceraian
Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas dirinya dan kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada UUP NO.1 thn 1974 Pasal 41 tentang akibat putusnya  perkawinan karena perceraian adalah:
1.      Baik  ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilaman ada perselisihan mengenai   pengasuhan  anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak, pengadilan memberi keputusan;
2.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan suatau kewajiban bagi bekas istri.[18]
Dan diatur juga dalam KHI pada pasal 105 dalam permasalahan perceraian, yang mana anak pada saat itu belum mumayyiz yaitu:
1.      Belum berumur 12 tahun masih haknya seorang ibu.
2.      Ketika sudah mumayyiz disrahkan kepada anaknya untuk memilih diantara kedua orang tuanya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3.      Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.[19]
Sedangkan menurut fikih 5 mazhab :
1.      Hanafi: 7 tahun untuk laki- laki dan 9 tahun untuk perempuan.
2.      Syafi’I: Tidak ada batasan tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bias menentukan atau berfikir hal yang terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.
3.      maliki: Anak laki- laki hingga baligh dan perempuan hingga manikah.
4.      Hambali: Masa anak laki- laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.
5.      Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki- laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu haknya ayah, hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki- laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.[20]
6.      Sedangkan dalam KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada perceraian:
A)      Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh;
1.      Wanita- wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,
2.      Ayah,
3.      Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,
4.     Saudara- saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,
5.      Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,
6.      Wanita- wanita sedarah menurut garis samping ayah.
B)      Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahnya atau ibunya.
C)       Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak
meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat yang juga mempunyai hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk memindahkan hak hadhanah.
D)      Biaya hadhanah tangung jawab ayah sekurang- kurangnya sampai dewasa dan dapat mengurus
          sendiri (21 tahun).
E)      Apabila ada perselisihan PA dapat memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.
F)      Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya pada penetapan jumlah biaya untuk  
          memelihara dan pendidikan anak.


D.     Pendidikan Anak (Tarbiyatul Aulad)

1.      Mendidik Anak yang Benar Menurut Agama Islam

Cara mendidik anak yang benar menurut para ahli sudah banyak dikemukakan di berbagai media yang berfokus pada pendidikan karakter anak. Banyak para ahli yang menerapkan cara mendidik anak secara moderen yang tak jarang dari beberapa cara tersebut yang sesungguhnya jauh dari ajaran agama Islam. Bagi orang tua yang beragama Islam dan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, tentu saja cara mendidik anak haruslah berdasarkan dengan kaidah- kaidah dalam Islam. Dalam hal ini bukan berarti orang tua muslim tidak boleh memberikan pendidikan modern terhadap anak- anaknya, melainkan bahwa orang tua harus menempatkan agama Islam sebagai pondasi utama dalam mendidik sang anak di atas metode pendidikan modern yang lain. Hal ini penting untuk dilakukan agar mampu menyaring mana yang baik dan mana yang buruk bagi mereka, serta mana yang diijinkan dan mana tidak diijinkan untuk dilakukan dalam agama mereka.
Mendidik anak yang benar menurut agama Islam meliputi apa, mengapa, dan bagaimana cara mendidik anak yang sesuai dengan ajaran- ajaran agama Islam dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah S.A.W. Terdapat banyak sekali cara mendidik anak secara Islam yang dapat diterapkan oleh orang tua kepada anak- anaknya sejak dini, bahkan saat mereka masih di dalam kandungan. Cara mendidik anak yang benar dalam Islam merupakan suatu cara dalam memberikan ilmu pengetahuan, pemahaman- pemahaman, serta pengenalan-pengenalan kepada sang anak dalam tumbuh kembangnya agar mereka melakukan hal- hal yang sesuai dengan kaidah- kaidah dan ajaran- ajaran dalam Islam. Cara ini dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Al Qur’an, Al Hadist serta sunnah- sunnah Islam sebagai acuan dasar untuk mengembangkan pendidikan kepada anak. Dalam menerapkan cara mendidik anak secara Islam, orang tua haruslah terlebih dahulu memahami mengenai bagaimana cara mendidik anak menurut Islam serta larangan- larangan apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam mendidik anak. Dalam pelaksanannya, terdapat beberapa cara mendidik anak yang baik dan benar dan sesuai menurut kaidah- kaidah agama Islam. Beberapa cara yang dapat diterapkan oleh orang tua muslim antara lain sebagai berikut :

A.      Mulai mengajarkan aqidah dan tauhid kepada anak sejak dini.
Seperti yang kita ketahui bahwa Allah S.W.T telah meniupkan ruh kepada janin yang ada di dalam rahim seorang ibu semenjak empat puluh hari terbentuknya kehamilan di dalam rahim sang ibu. Kehadiran seorang anak merupakan anugerah dari Allah S.W.T yang mana hal tersebut berarti bahwa segala sesuatunya berasal dari Allah dan akan kembali lagi kepada Allah Ta’ala. Dengan berpegang teguh pada hal ini, orang tua harus mengetahui bahwa anak merupakan titipan Tuhan yang sewaktu waktu dapat diambil. Untuk itulah, wajib bagi orang tua mendidik dan membesarkan sang anak sesuai dengan tuntunan dari Sang Pemilik, yakni Allah S.W.T yang telah diajarkan kepada Rasul Nya. Dengan kesadaran penuh seperti ini, maka dalam mendidik anak, orang tua wajib mengajarkan anak syari’at Islam. Hal yang dapat dilakukan adalah dnegan mengajarkan aqidah akhlak serta ajaran tauhid kepada sang anak sejak dini, bahkan semenjak anak berada di dalam kandungan seperti dengan membiasakan diri mendengarkan ayat ayat Al Qur’an. Ketika anak telah lahir dan mulai mampu mengenal lingkungan sekitar, maka orang tua bisa memulai menerapkan ajaran akidah akhlak yang sesuai dengan syari’at Islam kepada sang anak seperti melatih sang anak untuk mengucapkan salam, melatih anak menghafal do’a do’a ringan seperti do’a sebelum makan, do’a sebelum tidur, do’a masuk ke kamar mandi, dan sebagainya.
B.      Mengajarkan cara menunaikan ibadah yang sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam
Orang tua muslim wajib hukumnya untuk mengajarkan tentang tata cara beribadah kepada anak sejak dini dengan baik dan benar. Hal ini penting untuk dilakukan pada saat anak masih berusia dini agar anak terbiasa dengan kewajiban- kewajiban yang harus ia laksanakan dalam kehidupan beragama yang ia laksanakan. Cara memulai membiasakan sang anak untuk beribadah sejak dini dapat dilakukan dengan melatih anak dari hal- hal yang paling sederhana terlebih dahulu, seperti mengajarkan kepada anak mengenai tata cara berwudhu yang baik, melibatkan anak untuk sholat berjamaah di rumah serta melatih anak untuk berpuasa semampu mereka. Yang perlu ditekankan untuk orang tua dalam melatih anak menjalankan ibadah adalah jangan terlalu memaksa mereka dengan kata- kata dan perbuatan yang kasar sehingga mereka tidak akan menganggap bahwa agama merupakan suatu paksaan. Buatlah situasi senyaman mungkin dalam melatih anak mengenali agamanya dengan beribadah, karena dengan demikian akan menumbuhkan rasa cinta kepada sang anak terhadap agama yang dianutnya sehingga sang anak akan dengan sendirinya merasa membutuhkan agama tersebut dan mereka akan menjadikan agama sebagai pegangan bagi mereka dalam menjalankan kehidupan sehari- hari kelak hingga mereka tumbuh dewasa nanti.
C.      Mengajarkan Al Qur’an dan Al Hadist kepada anak
Sejak anak mulai mengenal huruf dan baca tulis, maka mulailah untuk mengajarkan Al Qur’an dan Al Hadist kepada sang anak. Tentu saja bukan berarti anak harus mempelajarinya dengan skala berat, melainkan dengan skala yang ringan dan menerapkannya dari tahap yang paling awal. Dalam hal ini, orang tua dapat mulai mengenalkan Al Qur’an dengan mengajarkan Iqro kepada sang anak, membantu mereka mengeja huruf- huruf Arab yang baru mereka kenal serta mengajarkan do’a- do’a yang baik kepada sang anak. Sebagai tambahan dalam membentuk akhlak sang anak, maka orang tua dapat juga membacakan kisah- kisah para nabi kepada sang anak sebagai dongeng sebelum tidur. Dengan membiasakan anak mengetahui kisah- kisah yang di dalamnya terdapat suri tauladan yang baik, maka sang anak juga akan mendapatkan input yang baik bagi hidupnya yang mana hal ini akan mampu mendorong sang anak menirukan hal- hal baik dari apa yang telah mereka dengar. Hindarkann sang anak dari pengaruh buruk yang dapat mempengaruhi mereka seperti melihat acara televisi yang kurang mendidik. Dampingilah sang anak dan arahkan sang anak untuk menyaksikan acara televisi yang mengandung unsur pendidikan agama sehingga sang anak akan terhindar dari pengaruh buruk media massa yang semakin hari semakin mengancam perkembangan sang anak karena tayangan- tayangan yang kurang mendidik.
D.     Mendidik anak dengan akhlak yang mulia
Cara ini merupakan cara yang paling penting dalam mendidik anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan berakhlak mulia. Mendidik anak dengan akhlak yang mulia dapat dimulai dari lingkungan yang paling sederhana yakni di lingkungan rumah atau lingkungan keluarga. Pembentukan akhlak yang mulia dapat dilakukan dengan memberikan tauladan sederhana kepada sang anak dengan melatih anak untuk mencium tangan orang tua, mengucap salam ketika mereka bertemu dengan orang lain, serta melatih anak untuk selalu berkata- kata baik. Selain itu, membiasakan sang anak untuk meminta maaf apabila berbuat salah serta mengajarkan anak untuk tidak segan meminta tolong dan mengucapkan terima kasih juga merupakan cara yang baik dalam mendidik anak agar berakhlak mulia. Kita harus menyadari bahwa anak- anak kita diumpamakan bagai selembar kertas putih yang mana bisa kita tulisi dengan apa saja, entah baik atau buruk, akan tertinggal di sana. Maka dari itu alangkah baiknya sebagai orang tua hendaknya selalu menggoreskan hal- hal yang baik kepada sang anak dengan menanamkan ajaran agama Islam yang baik serta memberikan contoh akhlak yang mulia agar goresan yang tersisa pada selembar kertas putih tersebut adalah goresan yang baik dan membekas di hati sang anak. Dengan demikian, ang anak mampu menolak hal- hal buruk yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka dapatkan apabial mereka telah tumbuh dewasa dan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah dalam hidup mereka. 
E.      Mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan
Alam semesta diciptakan oleh Allah S.W.T untuk memenuhi segala kebutuhan manusia di dunia. Binatang dan tumbuh- tumbuhan merupakan maklhuk Allah yang hidup dan bernafas selain manusia. Untuk itu, dalam mengajarkan pendidikan kepada anak, perlu bagi orang tua untuk mengajari anak mencintai lingkungan sekitar sebagai bentuk melatih rasa syukur anak atas anugerah yang telah diberikan oleh Allah S.W.T. Dengan melatih anak untuk mencintai lingkungan sekitar, maka anak akan menyadari bahwa ia tidaklah hidup sendiri di dunia ini dan ia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain sehingga ia diwajibkan untuk menjaga lingkungan ciptaan Allah. Dengan menanamkan rasa cinta lingkungan karena Allah, maka akan terbentuk pribadi yang bersyukur dan tidak menjadi generasi perusak di muka bumi.[21]
2.      Tahapan Mendidik anak seperti Rasulullah 
Tahapan bagaimana mendidik anak mengikut sunnah Rasulullah s.a.w adalah :
Pertama :   Umur anak-anak 0-6 tahun. Pada masa ini, Rasulullah s.a.w menyuruh kita untuk memanjakan, mengasihi dan menyayangi anak dengan kasih sayang yg tidak berbatas. Berikan mereka kasih sayang tanpa mengira anak sulung mahupun bongsu dengan bersikap adil terhadap setiap anak-anak. Tidak boleh dipukul sekiranya mereka melakukan kesalahan walaupun atas dasar untuk mendidik.
Sehingga, anak-anak akan lebih dekat dengan kita dan merasakan kita sebagai bagian dari dirinya saat besar, yang dapat dianggap sebagai teman dan rujukan yang terbaik. Anak-anak merasa aman dalam meniti usia kecil mereka karena mereka tahu anda (ibu bapak) selalu ada disisi mereka setiap masa.
Kedua : Umur anak-anak 7-14 tahun.  Pada tahap ini kita mula menanamkan nilai DISIPLIN dan TANGUNGJAWAB kepada anak-anak. Menurut hadits Abu Daud, “Perintahlah anak-anak kamu supaya mendirikan shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun dan asingkanlah tempat tidur di antara mereka (lelaki dan perempuan). Pukul itu pula bukanlah untuk menyiksa, cuma sekadar untuk mengingatkan mereka. Janganlah dipukul bagian muka karena muka adalah tempat penghormatan seseorang. Allah SWT mencipta sendiri muka Nabi Adam.
Sehingga, anak-anak akan lebih bertanggungjawab pada setiap suruhan terutama dalam mendirikan sholat. Inilah masa terbaik bagi kita dalam memprogramkan kepribadian dan akhlak anak-anak mengikut acuan Islam. Terserah pada ibu bapak apakah ingin menjadikan mereka seorang muslim, yahudi, nasrani ataupun majusi.
Ketiga : Umur anak-anak 15- 21 tahun. Inilah fasa remaja yang penuh sikap memberontak. Pada tahap ini, ibubapa seeloknya mendekati anak-anak dengan BERKAWAN dengan mereka. Banyakkan berborak dan berbincang dengan mereka tentang perkara yang mereka hadapi. Bagi anak remaja perempuan, berkongsilah dengan mereka tentang kisah kedatangan ‘haid’ mereka dan perasaan mereka ketika itu. Jadilah pendengar yang setia kepada mereka. Sekiranya tidak bersetuju dengan sebarang tindakan mereka, hindari menghardik atau memarahi mereka terutama dihadapan saudara-saudaranya yang lain tetapi gunakan pendekatan secara diplomasi walaupun kita adalah orang tua mereka. Sehingga, tidak ada orang ketiga atau ‘asing’ akan hadir dalam hidup mereka sebagai tempat rujukan dan pendengar masalah mereka. Mereka tidak akan terpengaruh untuk keluar rumah untuk mencari kesenangan lain karena memandangkan semua kebahagian dan kesenangan telah ada di rumah bersama keluarga.
Keempat : Umur anak 21 tahun dan ke atas. Fase ini adalah masa ibu bapak untuk memberikan sepenuh KEPERCAYAAN kepada anak-anak dengan memberi KEBEBASAN dalam membuat keputusan mereka sendiri. Ibu bapak hanya perlu pantau, menasehati dengan diiringi doa agar setiap tindakan yang diambil mereka adalah betul. Berawal dari pengembaraan kehidupan mereka yang benar di luar rumah. InsyaAllah dengan segala displin yang diasah sejak tahap ke-2 sebelum ini cukup menjadi benteng diri buat mereka. Ibu bapak jangan lelah untuk menasihati mereka, kerana kalimat nasihat yang diucap sebanyak 200 kali atau lebih terhadap anak-anak mampu membentuk tingkah aku yang baik seperti yang ibu bapak inginkan.[22]

3.      Kesalahan Dalam Mendidik Anak Menurut Islam

Orang tua yang baik adalah orang tua yang selalu berusaha untuk mendidik anak mereka agar menjadi anak yang soleh, beriman dan berakhlak mulia. Cara mendidik anak yang salah dapat berakibat buruk pada pembentukan karakter anak, meskipun ada faktor lain diluar keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan mereka.
Menurut Islam tugas memelihara anak kita agar menjadi anak yang beriman adalah wajib, seperti yang tercantum dalam Firman Allah Dalam Quran Surah At Tahrim ayat 6,: 

" Wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu...".

Ada beberapa kesalahan yang harus kita hindari dalam mendidik anak menurut islam agar anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang beriman, soleh dan berakhlak mulia.
Berikut 10 kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anak mereka menurut islam.
1. Memberi didikan yang tidak seimbang
Tidak seimbang antara didikan jasmani (fisik), rohani (keagamaan) dan keilmuan. Saat ini banyak orang tua yang lebih mementingkan pendidikan ilmu (misalnya matematika, ipa, bahasa inggris, dll) dari pada pendidikan keagamaan.

2. Menegur anak secara negatif
Mengeluarkan kata-kata kasar dan makian kepada anak-anak saat kita marah karena kesalahan yang diperbuat anak. Janganlah kita membandingkan anak kita dengan saudaranya atau anak orang lain.

3. Tidak tegas dalam mendidik anak
Tidak menjadwalkan kegiatan harian yang positif bagi anak dan terlalu memfokuskan anak-anak kepada sesuatu aktivitas saja tanpa memperhatikan perasaan mereka.

4. Kurang mengawasi acara TV ataupun video yang ditonton anak.
Pengawasan terhadap apa yang ditonton anak sangat penting, kerena saat ini banyak acara TV menonjolkan akhlak yang kurang baik, seperti pergaulan bebas, pakaian yang tidak sesuai kaidah agama dan perbuatan yang tidak pantas ditonton anak-anak.

5. Tidak mengajarkan kebiasaan yang baik di rumah 
Tidak pernah mengajar anak untuk memberi dan membalas salam, makan bersama, solat berjemaah, beribadah bersama-sama, dan sebagainya. 

6. Kurang memberi sentuhan kepada semua anak.
    Rasulullah sering membelai cucu-cucunya dan mencium mereka. Diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:
   Pada suatu hari Rasulullah SAW mencium Al-Hassan atau Al Hussien bin Ali r.a. Ketika itu Agra' bin   Habis At-Tamimiy sedang berada di rumah baginda. Berkata Agra' : "Ya Rasulullah! Aku mempunyai sepuluh orang anak, tetapi aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka." Rasulullah melihat kepada Agra' kemudian berkata : "Siapa yang tidak mengasihi tidak akan dikasihi."-(Maksud Al-Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)
7. Terlalu bergantung kepada pembantu rumah untuk mendidik anak-anak.
     Sebagai orang tua kitalah yang akan ditanyakan mengenai anak-anak kiata di akhirat kelak.
     Oleh karena itu menjadi kepentingan kita untuk berusaha memastikan anak-anak terdidik dengan     pendidikan Islam.
8. Bertengkar di depan anak-anak.
    Ini akan menyebabkan anak-anak tertekan dan membenci salah seorang dari ibu bapaknya.
9.  Penampilan diri yang kurang baik dan kurang pantas.
Orang tua tidak menunjukkan cara berpakaian yang pantas dan yang sesuai syariat bila berada di rumah, yaitu berpakaian yang tidak rapih dan seksi di hadapan anak-anak.
10. Membiarkan orang yang tidak baik sikap dan perbuatannya masuk ke dalam rumah kita, baik    dari       kalangan sahabat sendiri ataupun sahabat anak-anak.
      Hal ini akan memberikan contoh yang tidak baik kepada anak-anak.[23]












[1] DR. Abdul Karim Zaidan Al-Mufassol fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah ar-Risalah tahun 1993) hlm. 321
[2] Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II Bandung.cv Pustaka Setia).hlm 171
[3]AL Abdulan Majid Mahmud Muthlub Wazif Fi Ahkam Al Usroh Al Islamiyah, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Alih Bahasa : Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Era media. Cet 1( Solo 2005,) hal: 520.
[4] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah Jilid 3 Tahkik dan takhrij : Muhammad Nasiruddin Al-Albani (Cakrawala Publishing,Jakarta 2011) hlm. 398
[5] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195
[6] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,1993), h. 95
[7] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaih, Fiqih Wanita Edisi Lengkap (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998) hlm. 467.
[8] HR Daruqutni
[9] HR Daruqutni, kitab “ar-Radha,” jilid IV, hal:174, (10,11).
[10] HR Bukhari, kitab an-Nikah, bab “Man Qala: La Radha’a ba’da Haulain,” jilid VII, hal: 12.
[11] Hakin Rahmat, Hukum PerkawinanIslam, ( Bandung; Pustaka Setia, 2000), hlm. 224
[12] Prof.DR.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2007) hlm. 327-328
[13] Prof.DR.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2007) hlm. 328-329
[14] Musthafa Kamal Pasha, Chalil, Wahardjani, Fikih Islam, ( Jogyakarta; Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm. 304
[15] Prof.DR.Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana 2007) hlm. 331-333
[16] Rahmad hakim, Hukum Perkawinan Islam,(Bandung; Pustaka Setia, 2000), 242- 243
[17] Abdul Rahmad Ghazaly, Fikih Munakahat,(Bogor; Kencana,2003), 189- 190
[18] Abdul Rahmad Ghazaly, Fikih Munakahat,(Bogor; Kencana,2003), hlm 241
[19] Abdul Rahman Ghazaly, fikih Munakahat, (Bogor; kencana, 2003), hlm. 189
[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih 5 mazdab, ( Jakarta; Lentera, 2002), 417-418
[21] http://mutiarabijaksana.com/2014/06/21/ketahui-cara-mendidik-anak-yang-benar-menurut-agama-islam/
[22] https:/ notes/kalwati-dewi-ii/4-tahap-mendidik-anak-cara-rasulullah-saw/1797952253676875
[23] http://bacasitus.blogspot.com/2013/09/10-kesalahan-dalam-mendidik-anak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar