Jumat, 14 November 2014

Maslahah Mursalah - Ushul Fiqh


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latarbelakang
Seluruh hukum yang ditetapkan Allah swt. atas hamba-Nya dalam bentuk suruhan atau larangan adalah mengandung maslahat. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari maslahat. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Contohnya Allah menyuruh sholat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan jasmani.
Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. contohnya larangan meminum minuman keras yang akan menghindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental) dan akal.
Semua ulama sependapat dengan adanya kemaslahatan dalam hukum yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “apakah karena untuk mewujudkan maslahat itu Allah menetapkan hukum syara’?”. Atau dengan kata lain, “apakah maslahat itu yang mendorong Allah menetapkan hukum, atau karena ada sebab lain?”.
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa secara praktis dalam hukum. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah mentepakan hukum bukan karena terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi semata-mata karena iradat dan qudrat-Nya. Tidak satupun yang mendesak, mendorong atau memaksa Allah menetapkan hukum. Ia berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum adalah untuk mendatangkan kemaslahatan, karena kasih sayang-Nya, maka ia menginginkan hamba-Nya selalu berada dalam kemaslahatan.
Terlepas dari beda pendapat tersebut, yang jelas bahwa dalam setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan. Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada hukum syara’ dalam bentuk larangan. Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia selalu sejalan dengan hukum syara’.
Dari penjelasan tersebut, tampak betapa pentingnya maslahat dalam kehidupan manusia. Apalagi terkait dengan masalah-masalah yang tidak ada petunjuk secara syar’i baik dalam Alquran dan Hadis Nabi, maka dengan merujuk kepada kemaslahatan manusia, masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan pertimbangan akal, tapi tidak keluar atau berpaling dari tujuan syara’. Salah satu bentuk ketetapan hukum yang membahas masalah tersebut disebut dengan maslahah mursalah, yang selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.[1]








1.2 Rumusan Masalah

v  Apa itu Mashlahah Mursalah dan apa pula dalilnya ?
v  Bagaimana keHujjahan Mashlahah Mursalah ?
v  Apa saja syarat-syarat Mashlahah Mursalah ?

1.3 Tujuan Penulisan

    Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

v  Memenuhi tugas semester 3
v  Mahasiswa mampu mengetahui pengertian beserta dalil-dalilnya
v  Mahasiswa mampu mengetahui ke hujjahan Mashlahah Mursalah
v   Mahasiswa mampu mengetahui apa saja syarat syarat Mashlahah Mursalah



BAB II
ISI

“Mashlahah Mursalah”

2.1              Pengertian Mashlahah Mursalah dan Dalilnya
Sebelum menjelaskan pengertian mashlahah mursalah, terlebih dahulu perlu dibahas tentang maslahah, karena maslahah mursalah itu merupakan salah satu bentuk dari maslahah.
Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata buruk atau rusak. Ia adalah masdar dengan arti kata shalah yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan.
Pengertian Mashlahah dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengndung manfaat patut disebut Mashlahah. Dengan begitu mashlahah itu mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemashlahatan atau menolak atau menghindarkan.
Dalam mengartikan Mashlahah secara definitif terdapat perbedaan rumusan di kalangan ulama yang kalau di analisis ternyata hakikatnya adalah sama.
1.              Al-ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya Mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudarat (kerusakan), namun hakikat dari Mashlahah adalah
“ memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)”
Sedangkan tujuan syara dalam menetapkan hukum itu ada lima yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.              Al- Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi AL-Ghazali diatas yaitu :
“memelihara tujuan syara’ (dalam menetpkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia”

Definisi ini memiliki kesamaan dengan definisi dengan Al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya, karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan menolak kemashlahatan berartimenarik kerusakan.

Dari beberapa definisi tentang mashlahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa Mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara mashlahah dalam pengertian bahasa (umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau syara’. Perbedaan terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Mashlahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan pada mashlahah dalam artian syara’ yang



menjadi titik bahasan dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran da rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan da menghindarkan ketidaksenangan.[2]
Dalil yang dipakai oleh Ulama’ tersebut :
a.      kemaslahatan umat manusia itu secara lestari sifatnya selalu actual. Karena itu, jika tidak ada syari’at hukum yang berdasarkan maslahah mursalah berkenan dengan masalah barusesuai tuntutan perkembangan, maka pembentukan hukum hanya akan terkunci berdasar maslahah yang mendapatkan pengakuan syari’. Dengan demikian, kemaslahatan yang dibutuhkan umat manusia disetiap masa dan tempat menjadi terabaikan. Berarti pembentukan hukum tidak mengikuti atau tidak melihat perkembangan kemaslahatan umat manusia. Hal itu tidaklah cocok dan tidak sesuai dengan maksud syari’at yang selalu ingin mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
b.      Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan para mujtahid, akan tampak bahwa mereka te;ah mensyari’atkan aneka ragam hukum dalam rangka mencari kemashlatan dan bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi. Misalnya, Abu Bakar melakukan pengumpulan lembaran – lembaran tulisan AL-Qur’an yang berserakan, memerangi para pembangkangan pembayaran zakat, dan mengusulkan pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar.Umar bin Khattab juga demikian, ia menetapkan talak tiga walau dengan ucapan kalimat satu kali. Umar juga menghentikan pembagian zakat kepada kaum muallaf, menetapkan pembayaran pajak, mengadakan tertib administrasi, pembangunan rumah-rumah tahanan dan menghapuskan hukuman penggal tangan bagi pencuri ketika musim paceklik. Yang dilakukan Ustman, ialah mempersatukan umat islam dengan satu mushaf, dan membakar seluruh mushaf lainnya, disamping menyebarkan mushaf yang satu itu ke berbagai Negara, serta menetapkan penerimaan harta waris bagi istri yang ditalak lantaran maksud menghindari jatuhnya harta waris kepadanya. Ali, bahkan pernah membakar para penghianat dari kaum Syi’ah – Rafidhah. Ulama’ Hanafiah melarang seorang Mufti yang bercanda, melarang praktektabib yang tidak mampu, dan melarang orang kaya yang sedang susah dalam mengelola hartanya. Kaum Malikilah memperkenankan penahanan terhadap orang yang dituduh bersalah, disamping member hukuman agar mengakui kesalahannya. Ulama Syafi’iyah menjatuhkan hukum qishsas bagi gerombolah yang membunuh seorang manusia.[3]
2.2  KeHujjahan Mashlahah Mursalah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan  ulama ushul diantaranya :
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.
Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat


diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini,
mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
Imam Al-Qarafi  berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``.
Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.
           
Alasan Ulama Mengenai Persetujuan Menggunakan Hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karena kejadian tersebut tidak ada hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut :

1.              Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.

2.              Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i

3.              Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

Terdapat juga alasan lain yang mempunyai esensi yang sama dengan alasan-alasan di atas, yaitu :
1.      Kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan
    perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat



menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.

2.      Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i. Seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-Qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.

Sedangkan alasan-alasan golongan yang tidak memakai mashlahah, adalah:

1.      Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan hawa nafsu
2.      Maslahat mu’tabaroh termasuk qiyas dalam arti umum
3.      Seandainya kita memakai dalil maslahah sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan situasi dan kondisi sehingga syari’at tidak bisa universal (sepanjang zaman)
4.      Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat pada penyimpangan hukum syari’at. [4]

5.       

2.3       Syarat – Syarat Mashlahah Mursalah
      Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
     1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan. Serta mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
      2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam Al-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentangi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentangi mereka, maka orang kafir akan menang, dan merek akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang membentangi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentangi orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
      3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan  hukum-hukum yang dituju oleh Syar’i. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang didatangkan oleh Syari’. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
      4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.[5]

Syarat-syarat berpegang kepada maslahah mursalah
Para ahiushul yang menggunakan maslahahmursalah tidak sewenang-wenang menetapkan kemaslahatan untuk dijadikan dasar keputusan ,tetapi mereka berhati-hati untuk menjaga agar tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu,maka mereka memberikan syarat –syarat untuk berpegang kepada maslahahmursalah ,syarat-syarat itu adalah:
1.      Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahahmursalah harus kemaslahatan yang hakiki,bukan kemaslahatan yang berdasarkan akal (Waham=sangkaan),yaitu yang biasa menghasilkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan.
2.      Mashlihmursalah hanya berlaku dalam bidang muamalah bukan pada bidang ubudiah.
3.      Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahahmursalah itu harus kemaslahatan untuk umum,bukan untuk perorangan atau golongan.
4.      Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan syara’ atau ijma’.
5.      Usaha utsaman bin affan menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu musyaf, menyiarkannya dan kemudian membakar lembaran-lembaran yang lain.
6.      Ulama syafi’iah mewajibkan qishash atas orang banyak yang membunuh seseorang.
7.      Tindakan umar bin khattab tentang tidak menjalankan hukum potong tangan pencuri yang mencuri dalam keadaan pada masa paceklik.

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
1. Maslahah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Secara etimologi maslahah berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan mursalah adalah terlepas. Menurut terminologi dari beberapa pengertian yang dikemuukan oleh para ulama ushul dapat disimpulkan bahwa maslāhah mursālah adalah suatu maslahat yang tidak ada petunjuk dari syar’i baik itu dalam Alquran dan Hadis, apakah hal itu diperbolehkan atau dilarang. Tapi maslahat tersebut juga tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syar,i.
2. Para ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan kehujjahan maslāhah mursālah. Kelompok yang banyak memakai metode istinbath ini adalah Imam Malik dan para pengikutnya mazhab Maliki dan ulama Hanabilah. Mereka beralasan bahwa para sahabat juga banyak menggunakan maslāhah mursālah dalam mengambil beberapa keputusan, perkembangan zaman dengan berjalannya waktu banyak membutuhkan solusi dalam berbagai persoalan yang tidak dijelaskan secara langsung dalam nash. Sedangkan ulama yang menentang maslāhah mursālah antara lain mazhab Zahiriyah, ulama Mu’tazilah dan ulama lainnya. Mereka berpendapat bahwa maslāhah mursālah dapat disalah gunakan oleh orang karena mengikuti hawa nafsu mereka dalam memutuskan suatu persoalan.
3. Syarat-syarat maslahah dapat dijadikan suatu ketetapan hukum adalah Maslahatnya merupakan hal yang benar, bukan hanya dugaan semata. Maslahat itu bersifat umum, tidak hanya untuk kepentingan beberapa orang. Maslahat tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip syari’ah. Dan maslahat hanya digunakan dalam kondisi yang memerlukan saja.
4. Objek maslahah mursalah hanya boleh pada urusan adat dan muamalat saja, tidak pada wilayah ibadat, karena wilayah ini telah di jelaskan secara jelas dalam Alquran dan Hadis Nabi.




[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2 (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 322.
[2]Ushul fiqh, Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin hlm.343-347
[3] Ushul Fiqh, Prof. Abdul Wahab Khallaf
[4] http://oktaviawardani.blogspot.com/2013/05/kehujahan-maslahah-mursalah-dan.html
[5] UmanCaerul. Dkk. 1998. UshulFiqh 1. Bandung: Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar