“PENYERTAAN DALAM PERBUATAN
PIDANA ”
2.1
Pengertian Penyertaan serta penyertaan
menurut sifatnya
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda DEELNEMING di dalam hukum
Pidana DEELNEMING di permasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu
delik dilakukan bersama oleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang
melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.
Apabila
dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari
pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut.
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan delik tersebut, adalah:
1. bersama-sama
melakukan kejahatan
2. seorang
mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan
orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. seorang
saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu
melaksanakan
Penyertaan
dapat dibagi menurut sifatnya:
1. Bentuk
penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta
melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing-masing peserta dinilai
senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk
penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh
untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu
digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang
lain juga.
Beberapa
pandangan tentang sifat penyertaan:
1. Sebagai
dasar memperluas dapat dipidananya seseorang:
·
Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana;
·
Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.
·
Penganutnya;Simons, van Hattum, Hazewingkel Suringa
2.
Sebagai memperluas dapat dipidannya perbuatan:
·
Penyertaan dipandang sebagai bentuk khusus tindak pidana;
·
Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa;
·
Penganutnya: Pompe, Mulyanto, Roeslan Saleh
Menurut
Prof. Mulyanto, sesuai dengan dengan pandangan individual karena yang
diprimairkan adalah “hal dapat dipidananya seseorang”; pandangan yang kedua
sesuai dengan pandangan bansa Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan kepada “hal dapat dipidananya
perbuatan”. Dan dalam pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum adat.[1]
2.2
Bentuk - Bentuk Deelneming atau
Penyertaan
Pasal 55 KUHP menyatakan :[2]
1.
Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:
Ke-1 : mereka yang melakukan, yang
meyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Ke-2 : mereka yang dengan pemberian,
kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman,
atau penipuan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan
dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
2.
Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 berbunyi :
Dipidana sebagai pembantu suatu
kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberikan
bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari Pasal-Pasal di atas dapat
disimpulkan bahwa penyertaan adalah apabila orang yang tersangkut untuk
terjadinya suatu perbuatan pidana atau kejahatan itu tidak hanya satu orang
saja, melainkan lebih dari satu orang.
Sehubungan dengan
pertanggungjawabannya, maka dikenal beberapa penanggung jawab suatu tindak
pidana yang masing-masing berbeda-beda pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal
itu, Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad menyatakan dalam hukum pidana penanggung
jawab peristiwa pidana secara garis besar dapat diklasifikasikan atas dua
bentuk yaitu :[3]
1.
Penanggung jawab penuh
2.
Penanggung jawab sebagian.
Sehubungan
dengan status dan keterlibatan seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana,
Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP juga menentukan sistem pemidanaannya yaitu :[4]
1.
Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai dader atau pembuat
delik baik kapasitasnya sebagai pleger, doenpleger, medepleger, maupun uitlokker
maka ia dapat dikenai ancaman pidana maksimum sesuai dengan ketentuan pasal
yang dilanggar. (penaggung jawab penuh)
2.
Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai medeplichtiger atau
pembantu bagi para pembuat delik, maka ia hanya dapat dikenai ancaman pidana
maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang
dilanggar.(penanggung jawab sebagian).
Moeljatno
mengatakan bahwa ajaran bahwa ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas
dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana.
Karena
sebelum
seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu harus sudah
melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu, di samping delik-delik biasa
terdapat beberapa delik-delik seperti percobaan dan delik penyertaan yang
memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu
perbuatan pidana. [5]
Penyertaan
menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu pembuat dan
pembantu.
1.
Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang terdiri dari :
a.
Pelaku (pleger);
Pelaku
adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan
dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan atau diartikan sebagai orang
yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya
perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud. Secara formil pleger adalah
siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan
dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan
secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang
dilarang oleh undang-undang.
Menurut
pasal 55 KUHP, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara
pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama
dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jadi pleger adalah
orang yang memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila melalui orang-orang
lain atau bawahan mereka. [6]
b.
Yang menyuruh melakukan (doenpleger);
Wujud
dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55
ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila
seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak
pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai hukuman
dipana. Jadi si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka yang dikendalikan
oleh si penyuruh.
Menurut
Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan
ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak
dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan
dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat.
Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor
intellectualis), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor
intellectualis).
a)
Alat yang dipakai adalah manusia;
b)
Alat yang dipakai berbuat;
c)
Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggngjawabkan.
Sedangkan
hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat
dipertanggungjawabkan, adalah:
a)
Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44);
b)
Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48);
c)
Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));
d)
Bila ia sesat (keliru) mengenai salah-satu unsur delik;
e)
Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan yang
bersangkutan.
Jika
yang disuruh melakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap
mengacu pada pasal 45 dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan
anak.
Dalam
KUHP Indonesia, justru diadakan perbedaan si penyuruh dan si pembujuk.
Perbedaan ini adalah demikian bahwa dalam hal pembujukan si pelaku langsung
tetap dapat dihukum, demikian juga si pembujuk. Perbedaan lain adalah bahwa si
pembujuk hanya dapat dihukum apabila ia mempergunakan ikhtiar-ikhtiar yang
dirinci dalam Pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.
c.
Yang turut serta (medepleger);
Medepleger adalah orang yang melakukan
kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara
bersama-sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai
dengan yang telah disepakati.
Di
dalam medepleger terdapat tiga cirri penting yang membedakannya dengan
bentuk penyertaan yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana
melibatkan dua orang atau lebih. Kedua, semua orang yang terlibat
benar-benar melakukan kerja sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan
pidana yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena
kebetulan, tetapi memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Ada
tiga kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak yang telibat
dalam pelaksanaan perbuatan pidana yaitu :
a)
Mereka memenuhi semua rumusan delik;
b)
Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
c)
Salah-satu memenuhi semua rumusan delik;
d.
Penganjur (uitlokker).
Sebagaimana
dalam dalam bentuk menyuruh melakukan dalam uitlokker pun terdapat dua
orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang
menganjurkan (actor intelectualis) dan orang yang dianjurkan (actor
materialis). Bentuk penganjurannya adalah actor intelectualis menganjurkan
orang lain (actor materialis) untuk melakukan perbuatan pidana. [8]
Penganjur
adalah orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
pidana, dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi anjurannya
disebabkan karena terpengaruh atau tergoda oleh upaya-upaya yang dilancarkan
penganjur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
a)
Melibatkan dua orang, dimana satu pihak bertindak sebagai actor
intelectualis, yakni orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan pidana dan pihak yang lainnya bertindak sebagai actor
materialis yakni orang yang melaksanakan perbuatan pidana atas anjuran actor
intelectualis.
b)
Actor intelectualis menggerakkan hati atau sikap actor materialis, sehingga
ia benar-benar berbuat tindak pidana yakni dengan melalui upaya-upaya yaitu :
-
Memberi sesuatu atau menjanjikan akan member sesuatu.
-
Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat yang dimiliki actor intelectualis.
-
Memakai kekerasan atau paksaan tetapi tidak sampai merupakan suatu daya paksa
sehingga actor materialis masih memiliki kebebasan untuk menentukan
sikapnya.
-
Memakai ancaman yang bersifat menyesatkan actor materialis.
-
Memberikan kesempatan, sarana atau informasi kepada actor materialis.
c)
Terjadinya tindak pidana yang dilakukan actor materialis harus
benar-benar merupakan akibat dari adanya pengaruh atau bujuk rayu actor
intelectualis.
d)
Secara yuridis actor materialis adalah orang yang dipertanggungjawabkan
secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya itu.
Penganjur
(uitlokker) mirip dengan menyuruh melakukan (doenpleger), yaitu
melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak
pada:
1.
Pada
penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang
tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruh melakukan
menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;
2.
Pada penganjuran, pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiil tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Syarat
penganjuran yang dapat dipidana, antara lain;
a)
Ada kesengajaan menggerakan orang lain;
b)
Menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP;
c)
Putusan kehendak pembuat meteriil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;
d)
Pembuat materiil melakukan/mencoba melkukan tindak pidana yang dianjurkan;
e)
Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap
dipidana berdasarkan pasal 163 KUHP.
2.
Pembantu/ Medeplichtige
Pembantu
adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran, informasi atau
kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana.
Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis;
a.
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantunya tidak
disebutkan dalam KUHP. ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun
perbedaannya terletak pada:
a)
Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut
serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
b)
Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus
kerjasama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut
serta,orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara
bekerjasama dan mempunyai tujuan sendiri;
c)
Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP), sedangkan dalam
turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
d)
Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi
sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
b.
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi
kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).
Perbedaan
pada niat/kehendak, pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak
semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak
melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan oleh si penganjur.[10]
2.3
Pertanggungjawaban
Pembantu Dalam Penyertaan
Berbeda dengan Pertanggungjawaban
pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, Akan tetapi, pembantu
dipidana lebih ringan daripada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari
ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara
maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan
pengecualian :
1. Pembantu dipidana sama berat dengan
pembuat,yaitu pada kasus tindak pidana:
a) Membantu merampas kemerdekaan (Pasal
333 ayat (4)) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan;
b) Membantu menggelapkan uang/surat
oleh penjabat(Pasal 415);
c) Meniadakan surat-surat penting
(Pasal 417).
2. Pembantu dipidana lebih berat
daripada pembuat, yaitu tindak pidana:
a) Membantu menyembunyikan barang
barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3));
b) Dokter yang membantu menggugurkan
kandungan (Pasal 349).
Sedangkan dalam pidana tambahan bagi
pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan
Pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada
pertanggungjawaban pembuat.
[1]
Frans Maramis, SH., MH ,hukum pidana umum dan tertulis di Indonesia ,cet-1sept
2012 hlm.213-215
[2]
Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor : Politeia,
1991), Hlm 72
[3]
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1989), 31-38
[4]
Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta : Fakultas
Hukum Universitas Indonesia , 2002), 222
[5]
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta,2002 )64
[6]
Ian Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta : Pustaka Utama, 2003), 308
[7]
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indoensia, (Bandung : Refika Aditama,
2011), hlm 177
[8]
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta,2002 ) hlm.
124
[9]
Mahrus Ali, Dasar- Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2012),
129-130
[10]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrfindo Persada,2012), hlm. 205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar