Senin, 07 September 2015

PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA



“PENYERTAAN DALAM PERBUATAN PIDANA ”

2.1               Pengertian Penyertaan  serta penyertaan menurut sifatnya
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda DEELNEMING di dalam hukum Pidana DEELNEMING di permasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan bersama oleh beberapa orang,jika hanya satu orang yang melakukan delik,pelakunya disebut Alleen dader.
Apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut. Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan delik tersebut, adalah:
1.       bersama-sama melakukan kejahatan
2.       seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3.       seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:
1.       Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing-masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2.       Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.
Beberapa pandangan tentang sifat penyertaan:
1.       Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya seseorang:
·         Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana;
·         Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.
·         Penganutnya;Simons, van Hattum, Hazewingkel Suringa
2. Sebagai memperluas dapat dipidannya perbuatan:
·         Penyertaan dipandang sebagai bentuk khusus tindak pidana;
·         Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa;
·         Penganutnya: Pompe, Mulyanto, Roeslan Saleh
Menurut Prof. Mulyanto, sesuai dengan dengan pandangan individual karena yang diprimairkan adalah “hal dapat dipidananya seseorang”; pandangan yang kedua sesuai dengan pandangan bansa Indonesia karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan kepada “hal dapat dipidananya perbuatan”. Dan dalam pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum adat.[1]




2.2 Bentuk  - Bentuk Deelneming atau Penyertaan
Pasal 55 KUHP menyatakan :[2]
1.      Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:
Ke-1 : mereka yang melakukan, yang meyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Ke-2 : mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
2.      Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 berbunyi :
Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan :
Ke-1 : mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
Ke-2 : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari Pasal-Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa penyertaan adalah apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana atau kejahatan itu tidak hanya satu orang saja, melainkan lebih dari satu orang.
Sehubungan dengan pertanggungjawabannya, maka dikenal beberapa penanggung jawab suatu tindak pidana yang masing-masing berbeda-beda pertanggungjawabannya. Berdasarkan hal itu, Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad menyatakan dalam hukum pidana penanggung jawab peristiwa pidana secara garis besar dapat diklasifikasikan atas dua bentuk yaitu :[3]
1.      Penanggung jawab penuh
2.      Penanggung jawab sebagian.
Sehubungan dengan status dan keterlibatan seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP juga menentukan sistem pemidanaannya yaitu :[4]
1.   Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai dader atau pembuat delik baik kapasitasnya sebagai pleger, doenpleger, medepleger, maupun uitlokker maka ia dapat dikenai ancaman pidana maksimum sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar. (penaggung jawab penuh)
2.   Jika status keterlibatan seseorang itu adalah sebagai medeplichtiger atau pembantu bagi para pembuat delik, maka ia hanya dapat dikenai ancaman pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai dengan ketentuan pasal yang dilanggar.(penanggung jawab sebagian).
Moeljatno mengatakan bahwa ajaran bahwa ajaran penyertaan sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Karena

sebelum seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu harus sudah melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu, di samping delik-delik biasa terdapat beberapa delik-delik seperti percobaan dan delik penyertaan yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. [5]
Penyertaan menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu pembuat dan pembantu.

1.   Pembuat/ Dader (Pasal 55) yang terdiri dari :
a.       Pelaku (pleger);
Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan atau diartikan sebagai orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa adanya perbuatannya tindak pidana itu tidak akan terwujud. Secara formil pleger adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana yang bersangkutan. Pada tindak pidana yang dirumuskan secara meterial plegen adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
Menurut pasal 55 KUHP, yang melakukan perbuatan disini tidak melakukan perbuatan secara pribadi atau melakukan tindak pidana secara sendiri, melainkan bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana itu. Jadi pleger adalah orang yang memenuhi semua unsur delik, termasuk juga bila melalui orang-orang lain atau bawahan mereka. [6]

b.      Yang menyuruh melakukan (doenpleger);
Wujud dari penyertaan (Deelneming) yang pertama disebutkan dalam pasal 55 ialah menyuruh melakukan perbuatan (Doenplegen). Hal ini terjadi apabila seorang menyuruh pelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenai hukuman dipana. Jadi si pelaku itu seolah-olah menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh si penyuruh. 
Menurut Martiman Projohamidjoyo, yang dimaksud dengan menyuruh melakukan perbuatan ialah seseorang yang berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan yang tidak dilakukan sendiri, akan tetapi menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor intellectualis), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).



Unsur-unsur pada doenpleger adalah:[7]
a)      Alat yang dipakai adalah manusia;
b)      Alat yang dipakai berbuat;
c)       Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggngjawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan, adalah:
a)      Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44);
b)      Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48);
c)      Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 ayat (2));
d)     Bila ia sesat (keliru) mengenai salah-satu unsur delik;
e)      Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan yang bersangkutan.
Jika yang disuruh melakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur, maka tetap mengacu pada pasal 45 dan pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang peradilan anak.
Dalam KUHP Indonesia, justru diadakan perbedaan si penyuruh dan si pembujuk. Perbedaan ini adalah demikian bahwa dalam hal pembujukan si pelaku langsung tetap dapat dihukum, demikian juga si pembujuk. Perbedaan lain adalah bahwa si pembujuk hanya dapat dihukum apabila ia mempergunakan ikhtiar-ikhtiar yang dirinci dalam Pasal 55 ayat 1 nomor 2 KUHP.

c.       Yang turut serta (medepleger);
Medepleger adalah orang yang melakukan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama pula ia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati.
Di dalam medepleger terdapat tiga cirri penting yang membedakannya dengan bentuk penyertaan yang lain. Pertama, pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang atau lebih. Kedua, semua orang yang terlibat benar-benar melakukan kerja sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga, terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan, tetapi memang telah kesepakatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Ada tiga kemungkinan terhadap kerja sama fisik di antara pihak-pihak yang telibat dalam pelaksanaan perbuatan pidana yaitu :
a)      Mereka memenuhi semua rumusan delik;
b)      Masing-masing hanya memenuhi sebagian rumusan delik.
c)      Salah-satu memenuhi semua rumusan delik;



d.      Penganjur (uitlokker).
Sebagaimana dalam dalam bentuk menyuruh melakukan dalam uitlokker pun terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (actor intelectualis) dan orang yang dianjurkan (actor materialis). Bentuk penganjurannya adalah actor intelectualis menganjurkan orang lain (actor materialis) untuk melakukan perbuatan pidana. [8]
Penganjur adalah orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana, dimana orang lain tersebut tergerak untuk memenuhi anjurannya disebabkan karena terpengaruh atau tergoda oleh upaya-upaya yang dilancarkan penganjur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP.
Berdasarkan pengertian di atas terdapat empat ciri penting uitlokker yaitu :[9]
a)      Melibatkan dua orang, dimana satu pihak bertindak sebagai actor intelectualis, yakni orang yang menganjurkan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan pihak yang lainnya bertindak sebagai actor materialis yakni orang yang melaksanakan perbuatan pidana atas anjuran actor intelectualis.
b)      Actor intelectualis menggerakkan hati atau sikap actor materialis, sehingga ia benar-benar berbuat tindak pidana yakni dengan melalui upaya-upaya yaitu :
-          Memberi sesuatu atau menjanjikan akan member sesuatu.
-          Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat yang dimiliki actor intelectualis.
-          Memakai kekerasan atau paksaan tetapi tidak sampai merupakan suatu daya paksa sehingga actor materialis masih memiliki kebebasan untuk menentukan sikapnya.
-          Memakai ancaman yang bersifat menyesatkan actor materialis.
-          Memberikan kesempatan, sarana atau informasi kepada actor materialis.
c)      Terjadinya tindak pidana yang dilakukan actor materialis harus benar-benar merupakan akibat dari adanya pengaruh atau bujuk rayu actor intelectualis.
d)     Secara yuridis actor materialis adalah orang yang dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya itu.
Penganjur (uitlokker) mirip dengan menyuruh melakukan (doenpleger), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya terletak pada:
1.       Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruh melakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan;
2.        Pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan.



Syarat penganjuran yang dapat dipidana, antara lain;
a)      Ada kesengajaan menggerakan orang lain;
b)      Menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam KUHP;
c)      Putusan kehendak pembuat meteriil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut;
d)     Pembuat materiil melakukan/mencoba melkukan tindak pidana yang dianjurkan;
e)      Pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan. Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan pasal 163 KUHP.
2.   Pembantu/ Medeplichtige
Pembantu adalah orang yang sengaja member bantuan berupa saran, informasi atau kesempatan kepada orang lain yang melakukan tindak pidana.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua jenis;
a.       Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantunya tidak disebutkan dalam KUHP. ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya terletak pada:
a)  Pembantu perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan;
b) Pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerjasama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta,orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan sendiri;
c)  Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (pasal 60 KUHP), sedangkan dalam turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana;
d) Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama.
b.      Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran (uitlokking).  
Perbedaan pada niat/kehendak, pada pembantu kehendak jahat materiil sudah ada sejak semula/ tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat meteriil ditimbulkan oleh si penganjur.[10]

2.3   Pertanggungjawaban Pembantu Dalam Penyertaan

Berbeda dengan Pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, Akan tetapi, pembantu dipidana lebih ringan daripada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan pengecualian :



1.    Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,yaitu pada kasus tindak pidana:
a)      Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4)) dengan cara memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan;
b)      Membantu menggelapkan uang/surat oleh penjabat(Pasal 415);
c)      Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).
2.   Pembantu dipidana lebih berat daripada pembuat, yaitu tindak pidana:
a)      Membantu menyembunyikan barang barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3));
b)      Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349).
Sedangkan dalam pidana tambahan bagi pembantu adalah sama dengan pembuatnya (Pasal 57 ayat (3)) dan Pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri, tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.




[1] Frans Maramis, SH., MH ,hukum pidana umum dan tertulis di Indonesia ,cet-1sept 2012 hlm.213-215
[2] Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor : Politeia, 1991), Hlm 72
[3] Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989), 31-38
[4] Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2002), 222
[5] Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta,2002 )64
[6] Ian Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta : Pustaka Utama, 2003), 308
[7] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indoensia, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hlm 177
[8] Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta : Rineka Cipta,2002 ) hlm. 124
[9] Mahrus Ali, Dasar- Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2012), 129-130
[10] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: PT Rajagrfindo Persada,2012), hlm. 205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar